Oleh: Nurizal Ismail (Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islam (Turats) (PUSKI), STEI Tazkia dan Peneliti ISEFID)
Puasa ke-17 Ramadhan identik dengan turunnya Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara Malaikat Jibril. Tujuan kehadirannya telah dijelaskan dalam Surat al-Baqarah, 185:” Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”.
Maka jelaslah bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama bagi umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk bagi kehidupan di dunia untuk meraih kehidupan di akhirat. Dalam epistemologi Islam, Al-Qur’an merupakan sumber primer yang menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu-ilmu yang terus berkembang hingga saat ini. Di dalamnya meliputi aspek ilmu tauhid, akhlak, fikih, alam, keluarga, sejarah, ekonomi, politik, sosial, sains dan teknologi.
Para ulama dahulu telah mengembangkan ilmu pengetahuan merujuk pada Al-Qur’an sebagai landasan utama konsep atau teori yang dikembangkannya. Dalam bidang kedokteran misalnya Al-Razi dan Ibnu Sina; Matematik misalnya Umar Khayyam, Nasir al-Din al-Tusi, al-Khawarizimi; teknologi misalnya Abbas bin Firnas dan al-Jazari; dan masih banyak lagi ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ulama terdahulu. Salah satu bidang yang sedang berkembang saat ini adalah ilmu ekonomi Islam yang tidak hanya di Indonesia bahkan dunia. Pertanyaanya bagaimana kontribusi ulama-ulama terdahulu terhadap pengembangan literatur ekonomi Islam?
Dalam Al-Qur’an banyak sekali istilah-istilah yang terkait dengan ekonomi telah dikembangkan menjadi suatu kajian khusus dalam ekonomi Islam oleh para ulama terdahulu. Prof Sobri Orman seoarang pakar sejarah ekonomi Islam membagi sumber-sumber literatur ekonomi Islam yang khusus menjadi enam kategori, yaitu literatur al-kharaj, al-amwal, al-kasb tijarah, nuqud, dan hisbah.
Pertama, para ulama penulis al-kharaj di antaranya adalah Imam Abu Yusuf, Yahya bin Adam dan Qudama bin Ja’far. Dalam kajian al-kharaj (pajak tanah) Imam Abu Yusuf dan Yahya bin Adam lebih fokus dibandingkan Qudama bin Ja’far yang lebih luas pembahasannya pada diskusi diwan (kementrian) dan termasuk diwan al-kharaj dalam pemerintahan Islam. Namun, bagi pemerhati sejarah akuntansi Islam, buku Qudama bin Ja;far wajib menjadi rujukan karena di dalamnya banyak sekali aspek dan praktik akuntasi yang Beliau jelaskan.
Kedua, dalam literatur al-amwal di antara penulisnya adalah Abu Ubayd, Abu Ja’far al-Dawudi. Ini juga merupakan literatur ekonomi Islam yang mirip dengan al-kharaj dengan nama yang berbeda, termasuk al-ahkam al-shultaniyyah nya Imam Mawardi. Ketiga, di antara penulis literatur hisbah adalah Yahya bin Umar, Ibnu Taimiyah, Al-Mujailidi dan Al-Shaizari. Literatur ketiga ini lebih banyak mengupas permasalahan harga dan mekanisme pasar. Keempat, literatur tentang nuqud (uang) di antara penulisnya yaitu Abu Hilal Hasan bin Abdillah al-Askari, Al-Maqrizi, dan Al-Munawi. Literatur ini sangat penting antara sumber-sumber sejarah moneter Islam yang masih relevan untuk dikaji dan dikembangkan saat ini.
Kelima, penulis-penulis al-kasb di antaranya adalah Al-Syaibani, Al-Hubaishi, dan Abu Bakar al-Khallal. Literatur ini berkenaan dengan bagaimana cara mencari penghidupan dan mengelolanya dalam bentuk pengeluaran-pengeluaran (nafaqah) dalam bingkai Syari’at. Keenam adalah tijarah (perdagangan) yang di antara penulisnya adalah Ja’far al-Dimasqi dan al-Jahiz. Kedua buku mereka merupakan buku manual tentang perdagangan yang dibahas sangat komprensif dan praktis. Literatur yang lain dan mungkin bisa dikatakan spesifik adalah ‘ilm tadbir al-manzil yang dikembangkan oleh para filusuf Muslim seperti Ibn Sina, Miskaway, dan Nasr al-Din al-Tusi.
Saat ini, tokoh-tokoh atau ulama-ulama Muslim kontemporer seperti Khursid Ahmad dalam pembangunan ekonominya, Umer Chapra dalam moneter Islam, dan lainnya juga fokus dan spesifik dalam kajian pengembangan ekonomi Islam. Semua yang mereka kembangkan dalam literatur ekonomi Islam tidak lepas dari sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
[bctt tweet=”Sudah saatnya membangun epistemologi ekonomi Islam berasal dari akar Islam ” username=”my_sharing”]
Karena itu dalam momentum Nuzulul Qur’an ini baiknya kita kembali melakukan evaluasi sudah seberapa sering kah kita membacanya, menelaahnya dan mengambil hikmah-hikmah di dalamnya? Terutama dalam hubungannnya dengan pengembangan ekonomi Islam, sudah saatnya membangun epistemologi ekonomi Islam berasal dari akar Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Ada banyak istilah atau kata dalam Al-Qur’an yang belum dieksplorasi dan dikembangkan menjadi satu konsep ekonomi Islam yang dapat diaplikasikan oleh masyarakat seperti yang telah dikembangkan oleh ulama-ulama terdahulu di penjelasan sebelumnya. Ekonomi yang hidup adalah ekonomi yang mempunyai ruh yang berasal dari Qur’an dan Sunnah. Wallahu’alam bil sawab!
[1] Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islam (Turats) (PUSKI), STEI Tazkia dan Peneliti ISEFID

