sukuk

Eksplorasi Akad Sukuk Berbasis Proyek

[sc name="adsensepostbottom"]

Sukuk berbasis proyek menjadi instrumen investasi baru yang diawali penerbitannya oleh pemerintah. Saat ini penerbitannya baru sebatas pada akad ijarah, namun sejatinya ada akad lain yang dapat digunakan untuk penerbitan sukuk berbasis proyek.

sukukPengamat pasar modal syariah, Iggie H Achsien memaparkan sukuk berbasis proyek baru dapat diekplorasi secara leluasa pada dua akad yaitu ijarah dan istishna. Menurutnya, akad lain seperti mudharabah dan musyarakah agak sulit diterapkan karena proyek yang memiliki grace period, sehingga tidak memungkinkan agar investor ‘puasa’ return sukuk terlebih dulu. Sedangkan murabahah, lanjut Iggie, juga unlikely karena nantinya masalah akan ditemukan di pasar sekunder sukuk.

“Murabahah consider as dayn (utang) jadi nanti berupa piutang kalau ditransaksikan di pasar sekunder jadi susah. Ilustrasi saja al dayn kalau akad murabahah di pasar sekunder pakai hiwalah (pengalihan utang). Misalnya saya punya piutang sama seseorang jatuh tempo 5 tahun lagi, saya minta anda tagihin ke dia, karena Anda yang menagih bayar Rp 99 miliar saja, yang Rp 1 miliar ongkos nagih. Ketika at discount dan at par itu masih bisa,” jelas anggota DSN MUI ini.

Namun, ujarnya, hal itu akan berubah jika yield turun dan harga sudah tidak at par lagi. Ia menyontohkan harga wajarnya mungkin menjadi Rp 102 miliar karena di saat yang sama yield instrumen lain turun. “Waktu saya mau alihin saya punya tagihan Rp 100 miliar, tapi bayarnya Rp 102 miliar. Itu ga masuk logika, kan kita yang nitipin dan suruh dia nagih, tapi yang nagih malah bayar ke saya tambahan premium,” tukas Iggie.

Ia menambahkan Malaysia sempat menerapkan penerbitan sukuk dengan menggunakan bai bithaman ajil, tetapi kemudian redup karena Timur Tengah tidak menerima instrumen tersebut. Akhirnya Malaysia pun memakai akad ijarah untuk penerbitan sukuknya karena akad tersebut lebih diterima secara luas.

Iggie menambahkan sukuk berbasis proyek dengan akad ijarah memungkinkan penerbit sukuk untuk bisa menarik dana saat penerbitan sesuai dengan kebutuhan dan bisa menentukan return di awal. Sementara jika menggunakan akad istishna akan dikaitkan dengan progress proyek, sehingga penerbitan sukuk harus dilakukan secara bertahap sesuai kemajuan proyek.

“Pakai istishna agak ribet, karena kalau dilihat yang perlu dipertimbangkan juga bagi pemerintah adalah koordinasi antar kementerian, jadi pada saat proyek sudah berapa persen terus terbitkan lagi. Iya kalau (sukuk) diserap pasar, tapi kalau tidak kan ada resiko seperti itu, pricingnya jadi beda-beda juga padahal untuk proyek yang sama, karena pricing kan seiring waktu sesuai supply and demand bisa naik turun. Jadi lebih complicate buat emiten, penerbit, pemerintah karena pakai perencanaan ini berapa costnya,” papar Iggie.

Sementara, menurut anggota DSN MUI, M Gunawan Yasni, kemungkinan bagi pihak korporasi menerbitkan sukuk berbasis proyek sangat bergantung bagi keinginan korporasi dan legitimasi dari OJK melalui aturannya yang berdasarkan fatwa. Gunawan menuturkan tantangan ke depan jika ingin memperbanyak sukuk berbasis proyek adalah dengan mendorong minat korporasi untuk fokus kepada proyek produktif dan membiayainya berdasarkan legitimasi OJK yang didukung sepenuhnya oleh DSN.

“Tentu saja untuk korporasi tetap bisa menggunakan fatwa DSN No 33 dan No 41 untuk sukuk mudharabah dan ijarah dengan fokus kepada pengembangan usaha dengan skema mudharabah maupun pengadaan aset produktif untuk dimanfaatkan sendiri atau oleh pihak di luar perusahaan melalui skema ijarah,” papar Gunawan.