Tidak ada komersialisasi sertifikat halal. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menolak tudingan DPR.

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, membantah anggapan sebagian pihak tentang nilai ekonomi dari pembuatan sertifikat halal yang mengarah kepada kesan adanya komersialisasi. Menurutnya, LPPOM melakukan tugas ulama yang berkewajiban menjaga kehalalan barang yang dikonsumsi dan digunakan oleh umat Islam. “Bukan kucuran uang yang kami permasalahkan, tapi substansi fatwa halalnya. Karena MUI tidak memperjuangkan sejumlah uang,” kata Lukman.
Lukman angkat bicara setelah mendengar perhitungan DPR RI terkait biaya sertifikasi halal sebesar Rp 280 triliun dinyatakan masuk kantong LPPOM MUI. Menurut Lukman, standar per sertifikat Rp 5 juta untuk perusahaan besar dan Rp 2,5 juta bagi usaha kecil menengah (UKM). Sertifikasi halal ini berlaku selama 2 tahun, kemudian harus diperpanjang lagi.
Perhitungan biaya sertifikasi halal, menurut Lukman, bukan perjenis produk makanannya, tapi satu jenis produk. Misalnya, bakso ya bakso saja tidak merinci pada berbagai jenis harus dikenakan biaya. Beda hal dengan perhitungan DPR yang memperkirakan LPPOM MUI menakar nilai sertifikasi halal adalah per jenis produk.“Sertifikat halal ini tidak berorentasi bisnis, jika tidak percaya silahkan audit. Kalau orentasi uang, kantor MUI pasti sudah mewah. MUI saja masih disubsidi pemerintah,” tegas Lukman.
Terkait biaya transportasi dan akomodasi tergantung besar kecilnya perusahaan. Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk atau on site (lapangan). Untuk hal ini, tegas Lukman, hanya menerima tiket perjalanan serta reservasi penginapan atau hotel. Jadi bukan dalam bentuk uang.
Akomodasi ini yang menentukan perusahaan yang mengajukan sertifikasi, karena merekalah yang mengetahui lokasi penginapan terdekat dengan lokasi produksi perusahaan, misalnya dekat dengan rumah potong hewan.
Atas dasar itulah, Lukman menilai, adding cost tersebut tidak termasuk gratifikasi atau korupsi, melainkan hanya memudahkan proses audit on site. Hal ini juga disepakati dalam akad dengan perusahaan pengaju sertifikat halal. Setelah akad dan hasil audit keluar, barulah output audit bisa dilanjutkan untuk dibahas di Komisi Fatwa MUI.
MUI tidak Ngambek
Oleh karena itu, LPPOM MUI menyatakan tetap akan melayani pembuatan sertifikat halal. Sertifikat itu dimaksudkan untuk melindungi umat Islam dari produk yang tidak halal. Sertifikasi halal bertujuan untuk mempertahankan nilai halal pada nilai seutuhnya. Sedemikian diperintah Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 168 yang berbunyi “aa ayyuhaa alnnaasu kuluu mimmaa fii al-ardhi halaalan thayyiban walla tattabi’ uu khuthuwaatialsysyaythaani innahu lakum ‘aduwwun mubiinun.” Yang artinya “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Oleh karena itu, LPPOM MUI akan menjaga agar kehalalan tidak diintervensi oleh kepentingan perdagangan, politik dan kekuasaan. Aktivitas serifikasi akan tetap berjalan seperti biasanya, tanpa terganggu oleh gonjang-ganjing Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Kewenangan menjalankan sertifikasi halal harus tetap dijalankan oleh MUI. Tidak hanya mengenai sekedar label, tetapi keseluruhan rangkaian sertifikasi.”Produk halal adalah kebutuhan umat Islam yang tidak bisa ditawar,” kata Lukman di sela-sela seminar dan diskusi nasional RUU JPH Keniscayaan di Negara Mayoritas Muslim Terbesar Dunia, di universita Said Jakarta, Rabu (17/9).
Hal ini dperkuat dengan pernyataan Ketua MUI, Din Syamsudin pernah menyatakan, MUI tidak mau setengah-tengah dalam persoalan Jaminan Produk Halal (JPH). MUI bukan petugas stempel, maka silahkan ambil semuanya atau tolak semuanya.”Bukan MUI ngambek. Kami khawatir substansi halal tidak terkendalikan karena ada intervensi,” tegas Lukman.

