Rakyat menderita, buat apa ada negara
Ilustrasi penderitaan rakyat. Foto: Istimewa

Buat Apa Ada Negara Kalau Rakyat Menderita

[sc name="adsensepostbottom"]

Jokowi seharusnya memprioritasnya anggaran pro rakyat. Namun, malah terjebak oleh kurangnya kreatifitas mengelola persoalan hingga akhirnya memutuskan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Padahal pemberian subsidi itu sudah diatur konstitusi.  Demikian diungkapkan Staf Ahli Komisi VIII DPRI RI Indon Sinaga.

Rakyat menderita, buat apa ada negara
Ilustrasi penderitaan rakyat. Foto: Istimewa

Indon mengatakan, pemerintah menghadapi dilema menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ini, karena diiringi dengan persoalan-soalan ekonomi Indonesia, yang menimbulkan efek domino kepada masyarakat. Opsinya pun kenaikkan 9 bahan pokok tidak bisa dibendung lagi, begitu pula dengan transportasi.

Menurutnya, pemberian subsidi untuk pemberdayaan rakyat miskin adalah kewajiban negara yang sudah diatur dalam konstitusi. “Subsidi itu bukan pemborosan, negara wajib memberikannya kepada rakyat,” katanya.

UUD 45 pasal 33 ayat 1 menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,” (ayat 2); “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara”, (ayat 3); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sehingga kata dia, sangatlah jelas bahwa kekayaan alam yang terkandung di Bumi Indonesia dikuasai oleh negara. Negara punya kewajiban menggelola kekayaan alam tersebut untuk kesejahteraan rakyat. “Tapi konsekuensi dari kekayaaan alam, pemerintah menaikkan harga BBM subsidi. Buat apa ada negara, kalau rakyat menderita,” tegas Indon.

Kalau Jokowi berargumen bahwa dana subsidi BBM akan dialihkan ke sektor produktif seperti pembangunan pelabuhan. Indon mempertanyakan, apakah langkah ini tepat? Menurutnya, persoalan bukan semata negara tidak punya insfraktuktur. Namun pemerintah tidak memiliki rancangan desain pelabuhan yang bisa ditawarkan kepada pihak swasta. “Yang ada cuma granddesign darat seperti pembangunan lintasSumatera dan LintasKalimantan. Sehingga pihak swasta tidak berani investasi untuk pembangunan pelabuhan,” ujarnya.

Menurutnya, pembangunan pelabuhan bukan untuk kepentingan rakyat banyak, namun lebih kepada argumen politik. Apakah dengan dana subsidi BBM tahun ini, akan mencukupi pembangunan pelabuhan, belum lagi bidang pendidikan dan kesehatan. “Bagaimana kalau dana itu kurang. Apakah Jokowi akan menaikkan harga BBM bersubsidi setiap tahunnya?,” tukasnya.

Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi, kata Indon, seharusnya mencontohkan negara-negara tetangga yang mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi kerakyatan dari tingkat terbawah. Seperti Jepang, Korea, China, Singapura dan Malaysia. Baca juga: Ketimpangan Ekonomi Kian Mengancam, Tantangan untuk Pemerintahan Baru