Pemerintah akan mengganti logo halal dengan lambang Garuda. Diyakini lebih mengandung kekuatan hukum. Benarkah?

Namun pembahasan pembentukan lembaga ini di DPR sangat panjang, mengingat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghendaki otoritas yang lebih luas. Sementara pemerintah juga ingin mengambil alih proses sertifikasi tersebut. “Sertifikasi adalah hak negara, maka nanti logo halal diganti dengan Garuda,” kata Nazaruddin kepada MySharing, saat ditemui usai seminar “Mengenal UU JPH” di Universitas Yarsi, Senin (15/12). Baca juga: MUI Menilai UU JPH Sarat Intervensi
Ia menuturkan, masalah logo ini terus dimusyarawahkan, karena MUI juga merasa punya hak. Memang kehalalan adalah refesentasi dari MUI, tapi logo halal MUI itu memakai bahasa Arab. “Jadi sudah terbukti menurut pemerintah bahwa sepanjang MUI memakai logo itu, tidak ada kekuatan hukum memaksa para produsen melakukan tindakan lebih lanjut,” ujar Nazaruddin.
Kalau ingin produk halal itu masuk dalam tatanan pemerintah, maka legitimasi kehalalan itu harus memakai logo Garuda. “Jadi nanti menggunakan logo Garuda dan logo Arab. PPnya sedang digodok, diharapkan bisa segera terealisasi dan diindahkan,” ungkap Nazaruddin.
Sementara Kepala Bidang Auditing LPPOM MUI Mulyorini Rahayuningsih mengatakan, pada prinsipnya LPPOM MUI melakukan tugas sesuai dengan peraturan dari pemerintah. Namun demikian, UU JPH yang sudah dibentuk oleh DPR kelihatannya masih memperlukan pertimbangan-pertimbangan secara teknik. Dan perlu diingat, bahwa ketika membuat bisnis harus memerhatikan pendapat-pendapat tidak hanya dari pemerintah tapi juga dari produsen.
Karena bagi LPPOM MUI, ketika dulu ada keputusan tentang logo halal, sampai keberadaannya sekarang ini. LPPOM MUI masih mengakomodasi logo halal yang sudah tercetak oleh industri di kemasannya.
Indutri mencetak kemasan dengan logo halal sebelum dipakai untuk mengemas produknya. Mereka juga mencetak kemasannya itu untuk sekian tahun dengan biaya yang cukup besar. “Nah, kita harus konsider dengan hal seperti ini. Intinya jangan sampai apa yang ditetapkan itu merugikan pihak industri,” kata Mulyorini kepada MySharing, saat ditemui di Universitas Yarsi, di Jakarta.
Menurutnya, kalau kemudian pemerintah menghendaki mencantumkan logo Garuda yang dianggap memiliki kekuatan hukum. Sebenarnya kekuatan hukum itu dari sifat sertifikasinya. “Kalau sifat sertifikasinya itu mandatory tidak akan terjadi perpecahan ini,” katanya.
Ia mengungkapkan, kekuatan hukum yang sebenarnya bukan dari logo halalnya, tapi dari sifat sertifikasi mandatory. Karena logo halal itu hanya sebagai penanda bahwa produk itu sudah halal berbeda dari sebelumnya. Sedangkan kalau dulu sifatnya diserahkan kepada produsen yang ingin mensertifikasikan produknya. Dengan mendaftar melalui peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini lembaga sertifikasi halal adalah MUI. Kalau sudah difatwakan halal, baru boleh mencantumkan logo halal. Baca juga: Sertifikat Halal Bukan Administrasi, Tapi Subtansi Fatwa.
Namun demikian, tegas Mulyorini, kalau pemerintah tetap akan mencantumkan logo lambang Garuda pada kemasan produk. Diharapkan tetap ada aturan logo halal harus mengkopedir bagaimana industry bisa melakukannya dengan baik. Mengingat membuat kemasan tersebut membutuhkan biaya banyak. Karena selama ini, LPPOM MUI cukup mengakomodasi kemasan yang telah dibuat industri untuk sekian tahun.
Mulyorini mengakui, bahwa menetapan sifat sertifikasi mandatory akan diberlakukan untuk lima tahun mendatang. Namun selama menunggu waktu itu, LPPOM MUI akan tetap berkiprah dalam sertifikasi halal. “Kami punya misi melindungi dan melayani umat sebaik-baiknya,” katanya.
Apalagi tegasnya, 87,5 persen penduduk Indonesia adalah umat Muslim yang harus dilindungi. Maka, LPPOM MUI akan tetap melakukan sertifikasi halal dengan memperbaiki sistem yang sudah ada. “Intinya mencari ridho Allah SWT dalam melindungi umat Muslim,” pungkasnya.

