Kemaritiman menjadi salah satu fokus pemerintahan Joko Widodo. Bagaimana bank syariah bisa memanfaatkan peluang pasar ini?

Ia memaparkan untuk pembiayaan pengadaan kapal ada yang harganya Rp 5 miliar, Rp 1 miliar atau ratusan juta, kebutuhannya bisa dipenuhi dengan menggunakan akad murabahah. “Pembangunan pelabuhan atau pengadaan mesin juga bisa dengan murabahah atau musyarakah mutanaqisah tergantung pada kebutuhan pembangunan kemaritiman. Atau, sewa kapal juga bisa dengan ijarah muntahiya bittamlik untuk penyediaan kapal-kapal,” kata Agustianto kepada mysharing.
Di sisi lain, tambahnya, akad bagi hasil sulit diterapkan untuk pembiayaan kemaritiman kecuali pada perusahaan besar atau lembaga yang memiliki laporan keuangan yang tepercaya, terkomputerisasi dan diaudit. Menurutnya, nelayan belum memenuhi syarat untuk bagi hasil, karena untuk berbagi hasil harus ada syaratnya, diantaranya punya pembukuan dan laporan keuangan yang akuntabel, tepercaya dan diaudit pihak internal maupun eksternal. Lalu lintas keuangan juga harus termonitor. “Nah, untuk hal ini nelayan bisa pakai koperasi nelayan atau bisa juga untuk sebuah perusahaan profesional yang mengelola kapal nelayan,” ujar Agustianto. Baca: Layanan Keuangan Mikro Untuk Nelayan
Agustianto menuturkan selama ini bank syariah belum banyak masuk ke pembiayaan kapal. Di sini bank syariah dan perusahaan pembiayaan syariah bisa menyalurkan ke pembiayaan maritim dengan menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten. “Kalau mau mengembangkan pembangunan kemaritiman memang benar-benar harus menyiapkan ahli di bidang risiko,” tukas Agustianto.
Kapabilitas lain sumber daya manusia yang perlu diperhatikan adalah kemampuan menganalisa dan mensurvei potensi nasabah. “Harus bisa kita perhitungkan dan prediksi secara tepat dan akurat berapa kira-kira satu bulan produksi ikannya,” kata Agustianto. Baca: Pembiayaan Syariah Untuk Maritim Terlalu Berisiko
Selain itu, lanjutnya, agar bank syariah berani masuk ke pembiayaan maritim maka harus bekerjasama dengan pemerintah atau perusahaan penjaminan. “Mungkin dana yang mau dikucurkan senilai Rp 100 miliar dan pemerintah tidak sediakan dana sebegitu besar, tetapi hanya menyediakan dana 20 persen saja, karena dengan asumsi tidak mungkin semua macet. Jadi bisa dengan kerjasama pembiayaan dengan penjaminan yang dijamin pemerintah,” jelas Agustianto.

