Kementerian Agama menargetkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal (JPH) selesai tahun ini.
Asean Free Trade Area (AFTA) membuat berbagai produk makanan dan minuman dari luar negeri membanjiri pasar Indonesia.
Namun, kehalalan produk tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, jumlah penduduk muslim di Indonesia sangat besar yakni 85 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia.
Apalagi, masih banyak masyarakat Indonesia yang meragukan kehalalan produk tersebut. Fenemona tersebut mendapat respon serius dari DPR RI. Melalui Komisi VIII DPR RI lahirlah Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Namun, untuk mengaplikasikan UU tersebut memerlukan payung hukum dari Pemerintah Indonesia. Payung hukum yang melegitimasi sebuah badan untuk menjamin produk pangan dan papan yang ada di Indonesia halal.
Payung hukum tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) terkait UU JPH yang hingga kini belum juga diterbitkan. Padahal penyelenggaraan JPH diharapkan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha.
Dalam UU tersebut, tertulis yakni untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH, dibentuk Badan BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. BPJPH sendiri harus dibentuk paling lambat tiga tahun setelah UU JPH diundangkan. Namun, peraturan pelaksana UU JPH harus ditetapkan paling lama dua tahun sejak UU JPH disahkan.
Lalu kapankah PP JPH akan terbit?Padahal terkandung dalam UU tersebut bahwa tahun 2019 semua pelaku usaha wajib menyertifikasi halal semua produknya. Jika tidak maka denda dan sanksi pidana akan menghampiri para pelaku usaha.
Draf PP UU JPH Siap Difinalisasi
Kasubdit Produk Halal Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Siti Aminah menjelaskan, draf Peraturan Pemerintah (PP) JPH sudah selesai dan sudah dibahas dari awal sampai akhir oleh kementerian dan lembaga terkait.
“Semua kementerian dan lembaga sudah sepakat sehingga draf tinggal difinalisasi, termasuk Kementerian Kesehatan. Hanya tinggal disisir mana yang belum rapi atau yang terlewat. Insya Allah PP JPH bisa selesai tahun 2016 ini,” ungkap Aminah dalam Diskusi Publik bertajuk ” Mendorong Pelaku Usaha di Bidang Usaha untuk Memenuhi Kebutuhan Masyarakat akan Pangan yang Sehat dan Halal,” di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Senin (17/10).
Aminah menjelaskan, garis besar pengaturan dalam draf Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal, sama seperti draf sebelumnya. Jika sudah final, Kemenag pun akan memublikasikan.
Pada kesempatan ini, Aminah pun membenarkan batas pembuatan PP JPH memang pada 17 Oktober 2016. Tapi PP JPH ini menurutnya, bukan Kemenag sendiri yang menangani, ada kementerian dan lembaga lain yang harus dilibatkan.
Dia pun menegaskan bahwa Kemenag bersama kementerian dan lembaga terkait berusaha menyusun draf ini dengan arif dan bijak agar jangan sampai saat disahkan ada yang tidak sepakat. ”Memang di luar masih ada yang tidak sepakat dan menilai ini tidak bisa diimplementasikan. Tapi kami berusaha sebaik mungkin agar industri bisa mengikuti ini,” papar Aminah.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa penyusun inti draf PP JPH adalah kementerian dan lembaga terkait di lingkungan pemerintahan. MUI sendiri sudah dimintai pandangan dan masukan di awal penyusunan draf. Setelah ini pembahasan kembali antar kementerian dan lembaga, kemudian draf akan masuk ke Kemenkumham, lalu ke Setneg.
Namun demikian, Aminah belum bisa memastikan kapan draf PP JPH bisa disahkan karena masih ada yang harus diharmonisasi dan difinalisasi. Sementara itu, lanjut dia, peraturan presiden tentang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sendiri sudah ada dan sudah masuk ke Kemenkumham untuk menunggu pengesahan. ”BPJPH ini kan tentang struktur saja. Sudah ada di Kemenkumham, tinggal pengesahan,” ujarnya.
Sifatnya Masih Sukarela Sampai 16 Oktober 2019
Aminah mengatakan, bahwa pihaknya menyadari 17 Oktober 2016 adalah tepat dua tahun pembahasan rancangan PP JPH berjalan. Banyak peraturan pemerintah yang lewat dari waktu yang diamanatkan undang-undang, tapi karena UU JPH ini penting dan banyak yang membutuhkan, sangat dipahami jika menjadi sorotan.
Dia menegaskan, bahwa rancangan PP JPH sendiri sudah 10 kali dibahas antar kementerian dan lembaga. Ada hal yang semula jadi persoalan seperti kewajiban atas obat dan kosmetik bisa diselesaikan. Kemenag memahami untuk obat, seperti vaksin, butuh waktu lama, maka ada bahasan aturan peralihan.
Dalam draf RPP JPH terbaru, tidak ada penyebutan waktu. Yang ada adalah pentahapan jenis produk bersertifikat halal sebagai persiapan kewajiban sertifikasi halal pada 2019. Maka di tahap satu adalah produk makanan dan minuman, tahap dua barang gunaan dan jasa, dan tahap tiga produk obat, kosmetik termasuk produk transgenik. ”Maka saat ini sifatnya masih sukarela sampai 16 Oktober 2019. Pada 17 Oktober 2019 barulah wajib,” tegas Aminah.
Hal lain, lanjut dia, yang jadi perhatian adalah aturan peralihan terkait produk obat. Tim penyusun mencari norma yang sesuai tanpa menyalahi undang-undang. Misalnya bahan baku obat belum ada halal, maka obat dianggap halal adalah hal yang menyalahi undang-undang. Maka butuh norma yang bisa membantu.
”Kosmetik pun awalnya dipermasalahkan. Tapi Kemenag punya kesimpulan, kosmetik tidak dalam kategori sepenting obat yang berkaitan dengan jiwa. Selain itu, sekarang pun kosmetik ada banyak pilihan. Sehingga saat ini yang perlu banyak dibahas dengan pakar hukum adalah soal obat,” ungkapnya.
Menurutnya, begitu pula kewajiban untuk pelaku UMKM. Maka perlu ada norma agar mereka bisa diedukasi. Apalagi, ada 57 juta pelaku UMKM. Pemerintah sendiri menyediakan bantuan sertifikasi halal untuk mereka seperti di Kemenag. ”Mungkin kalau ada BPJPH, dana bantuan ini bisa ditambah,” ujarnya.
Namun demikian, kata Aminah, sangatlah disayangkan dibanding pelaku usaha dalam negeri, pelaku usaha luar negeri terlihat justru fokus menaati aturan dan sangat peduli soal kehalalan. “Pengusaha lokal justru tidak begitu proaktif. Kalau begitu, produk halal lokal bisa kalah bersaing dengan produk luar,” pungkasnya.



