(ki-ka) : Pakar Hukum Islam UI Yeni Salma Barlinti, Anggota Komisi III DPR RI Asrul Sani, moderator, Hakim Agung MA. Mukto Arto, dan Ketua MUI Bidang Fatwa MaHuzaemah T. Yanggo dalam diskusi publik "Masih Perlukah Fatwa MUI? di Auditorium Djokosoetoro Fakultas Hukum UI, Depok, Kamis (9/1). foto:MySharing.

Asrul Sani : Fatwa MUI Mempertegas Hukum Positif

[sc name="adsensepostbottom"]

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mempertegas hukum positif yang memberikan makna dalam kehidupan kita.

Anggota Komisi III DPR RI, Asrul Sani mengatakan, fatwa itu dalam azas-azas hukum Islam jelas diterangkan. Fatwa ini dipahami sebagai ketentuan hukum Islam yang dibuat atau disusun atas pemikiran dari para ulama yang berdasarkan pada Al-Quran dan Hadist.

”Kalau ditanya,  apakah fatwa MUI masih perlukan? Ya masih ya, sudah jelas. Fatwa itu untuk memberikan sudut pandang masalah yang berkembang baik secara legimitasi empiris maupun sosiologi,” kata Asrul dalam diskusi publik bertajuk “Masih Perlukan Fatwa MUI?” di Auditorium Djokosoetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (9/2),

Menurut Asrul, fatwa MUI terus diperlukan untuk memenuhi perkembangan hukum Islam dan permasalahan yang berkembang di dunia saat ini yang kian beragam. Namun demikian, memang untuk memahami secara langsung fatwa yang berlandaskan Al-Quran dan Hadist tidak semua mampu, hanya orang tertentu saja yang mempunyai keahlian.

Asrul pun mengaku bahwa fatwa MUI memang bukan hukum positif. Namun demikian menurut dia, bukan berarti fatwa tersebut tidak memiliki makna. “Apa fatwa MUI itu hukum positif, jelas bukan hukum positif. Tapi kita pertanyakan, meski bukan hukum positif, apakah fatwa itu tidak punya makna dalam kehidupan kita,”  ungkap Asrul.

Karena, jelas Asrul, dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita lebih taat kepada fatwa daripada hukum positif. Asrul juga menyakini juga bahwa fatwa MUI memiliki pengaruh dalam hukum positif.

”Saya melihat fatwa MUI punya makna dalam hukum positif. Bahkan, fatwa MUI ini lebih dari hukum positif.  Hukum positif kalau nggak ada saksinya, kita ngga taati. Tapi kalau fatwa, nggak ada sanskinya. Ngga dilanggar, karena masih takut dosa,” ungkap Asrul.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, bahwa banyak fatwa MUI yang menjadi sumber hukum, inspirasi dan pemikiran manakala DPR dan pemerintah membahas udang-undang.

”Contohnya, fatwa no. 287 tahun 2001 tentang Pornoaksi dan Pornografi. Kalau saya lihat, fatwa MUI juga disebut-sebut dalam pembahasan undang-undang itu,” ujar Asrul.

Selain itu, lanjut dia, fatwa MUI no. 1 tahun 2004 tentang Bunga Bank Konvensional ini juga dipergunakan dalam pembahasaan undang-undang di DPR RI. ”Fatwa ini menjadi salah satu rujukan ketika DPR membuat UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah,” jelas Asrul.

Begitu pula dengan fatwa MUI no. 4 tahun 2005 tentang perkawinan beda agama. Padahal menurut Asrul, dalam  UU no. 1 tahun 1974 juga mengatakan bahwa perkawinan akan syah apabila dilakukan berdasarkan hukum agamanya dan kepercayaanya

”Jadi sangat jelas, kalau fatwa MUI itu untuk  mempertegas hukum positif yang berlaku,” pungkas Asrul.