SHARING/ HERU LESMANA SYAFEI
Membicarakan tentang peran dan sumbangsih Asuransi Syariah dalam gerakan Ekonomi Islam di Indonesia tentu akan memakan waktu yang panjang, tidak mungkin rasanya diuraikan di dalam tulisan ini secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis hanya akan menyampaikan hal-hal yang dianggap sangat penting dalam perjalanan sejarah asuransi syariah di dalam memberikan kontribusi di bumi Indonesia ini.
Dimulai tanggal 27 Juli 1993 para pemimpin Islam di Indonesia, yang dimotori oleh ICMI, dan dibantu oleh Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan yang diwakili Firdaus Djaelani dan Karna.n.A.Parwata Atmadja membentuk tim yang dinamakan TEPATI.
TEPATI inilah yang mempelajari seluk beluk teknis asuransi syariah, mereka melakukan berbagai riset diantaranya melakukan studi banding ke Syarikat Takaful Malaysia karena perusahaan ini sudah lebih awal mendirikan asuransi Islam.
Setelah diadakan berbagai kajian, studi banding, dan seminar maka akhirnya pada tanggal 24 Februari 1994 berdirilah PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai holding company dengan Dirut Rahmat Husein yang selanjutnya mendirikan dua anak perusahaan yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga yang didirikan pada tanggal 25 Agustus 1994, diresmikan oleh Menteri Keuangan yang pada waktu itu dijabat oleh Marii Muhammad di Hotel Syahid dan PT. Asuransi Takaful Umum yang didirikan pada tanggal 2 Juni 1995 bertepatan dengan 1 Muharram 1416 H, diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT BJ.Habibie di Hotel Shangrila.
Takaful berjalan sendiri tanpa kompetitor selama kurang lebih 8 tahun. Setelah itu barulah bermunculan asuransi-asuransi syariah lainnya yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 42 asuransi syariah, dengan perincian ada sekitar 20 perusahaan yang beroperasi sebagai Asuransi Jiwa Syariah yang di dalamnya terdapat 3 perusahaan yang berbentuk syariah penuh dan 17 berbentuk unit usaha syariah.
Adapun asuransi umum syariah berjumlah 22 perusahaan dengan perincian 20 unit usaha syariah dan 2 asuransi syariah full fledge. Asuransi syariah adalah suatu produk yang pada awalnya berjalan sangat lamban karena masyarakat belum mengenalnya, tentu untuk mensosialisasikan produk ini memerlukan waktu yang sangat panjang, dari segi permodalan ketika itu Takaful masih sangat kecil dibandingkan degan Asuransi Konvensional. Tentu saja ini menjadi hambatan dalam mempercepat penetrasi pasar asuransi syariah di Indonesia. Dan kalau diperhatikan pula undang-undang yang menjadi acuan dalam menjalankan asuransi syariah boleh dikatakan sangat minim. Akibatnya berpengaruh kepada pertumbuhan asuransi syariah itu sendiri.
Jika dirata-ratakan pertumbuhan asuransi syariah semenjak berdiri (1994) sampai sekarang, ia hanya tumbuh kurang lebih sekitar 30-40% per tahun. Sedangkan pertumbuhan asuransi konvensional jauh melebihi angka itu. Kita ambil saja dua tahun terakhir (2011 dan 2012), pertumbuhan asuransi syariah sangat lamban meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bagus dalam sepuluh tahun terakhir.
Total aset asuransi jiwa syariah tahun 2011 3.926.240 Triliun dan 2012 5.331.346 triliun. Artinya pertumbuhannya sekitar 40%. Adapun dari segi penguasaan pasar premi yang diterima oleh perusahaan asuransi syariah secara total hanya 4.53% dibanding dengan total premi industri asuransi jiwa. Berdasarkan data dari Biro Riset Info Bank 2013 total aset 2011 asuransi umum syariah adalah Rp1.396.727 triliun dan 2012 adalah RP 2.592.494 triliun artinya pertumbuhan preminya kurang lebih 40% dan jika kita lihat pangsa pasar yang diraih asuransi umum syariah hanya mencapai 2.6% dibanding dengan asuransi konvensional.
Melihat data-data di atas tentu peran asuransi syariah ini sangat kecil dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat Indonesia yang jumlahnya sudah melewati 250 juta jiwa. Dan jika kita bandingkan dengan negara Malaysia aset asuransi syariah itu sudah melebihi 20% dari total aset industri asuransi di Malaysia, tentu saja hal ini sangat menyedihkan dalam membangun perekonomian berbasis syariah di Indonesia.
Kalau kita analisa ada berbagai rintangan yang menyebabkan lemahnya pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia di antaranya permodalan; dalam industri asuransi dibutuhkan perusahaan yang memiliki modal yang kuat, dengan demikian publik bisa yakin sepenuhnya bahwa perusahaan asuransi syariah itu bonafit dan mampu membayar klaim apabila terjadi resiko terhadap nasabahnya. Disamping itu nasabah juga sangat yakin bahwa uang mereka tidak disalahgunakan. Kepercayaan masyarakat seperti ini akan dapat mengundang para peserta asuransi syariah sebanyak-banyaknya, dalam hal ini tentu kita menghimbau kepada pemegang saham asuransi untuk memberikan modal yang kuat terhadap perusahaan asuransi syariah. Faktor hambatan berikutnya adalah tidak sepenuh hatinya pemerintah membangun industri asuransi syariah yang kuat, sampai saat ini undang-undang asuransi syariah belum ada di Indonesia, padahal undang-undang tersebut sangat dibutuhkan untuk menentukan visi, misi dan arah asuransi syariah ke depannya. Karena asuransi syariah itu merupakan produk khusus dan sudah pasti ia memiliki aturan khusus terkait dengan manajemen resiko, sistem investasi, sistem pembinaan SDM dan model-model bisnisnya. Disamping itu, sebagai industri baru pemerintah juga seharusnya memberikan insentif terhadap industri ini agar ia mampu berkompetisi dengan pemain-pemain yang sudah lama. Seandainya pemerintah tidak memberikan perhatian khusus terhadap asuransi syariah maka industri ini akan terus ditinggalkan oleh perusahaan asuransi konvensional.
Hambatan berikutnya adalah sikap masyarakat Islam sendiri yang tidak merasa memiliki asuransi syariah ternyata dengan kurangnya jumlah pemegang polis asuransi syariah di Indonesia. Kemungkinan hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi dan edukasi di masyarakat. Tentu saja ini memerlukan usaha maksimal dari seluruh para penggiat ekonomi syariah dan diharapkan ke depan adanya perbaikan strategi dalam sosialisasi ini.
Terakhir adalah hambatan yang datang dari industri asuransi syariah itu sendiri dan asosiasinya yang tidak ada kesungguhan bersama dalam mengedukasi masyarakat dan sayangnya antara satu perusahaan dengan perusahaan lain yang sama-sama syariah melakukan kompetisi yang kurang sehat seperti saling menurunkan iuran tabarru’ dan saling melemahkan antara satu dengan yang lain.
Walau bagaimanapun kita mesti optimis untuk ke depan bahwa industri asuransi syariah bisa memainkan peranan yang lebih baik dan bisa mengejar ketertinggalannya seandainya masing-masing stakeholders mau mengevaluasi diri dan mau memperbaiki setiap kelemahan yang terjadi di masa lalu.
Oleh: Jafril Khalil (Anggota Dewan Pakar Majalah Sharing)