BMT Diminta Optimalkan Akad Musyarakah

[sc name="adsensepostbottom"]

Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kementrian Koperasi dan UKM – Setyo Heriyanto meminta kepada para pelaku BMT untuk mengembangkan akad musyarakah. Dengan demikian sektor riil yang sangat besar potensinya bisa dimanfaatkan secara maksimal. 

BMT-SidogiriKeberadaan Baitulmaal Waa Tanwil (BMT) dengan badan hukum koperasi syariah tak bisa terus menerus mengikuti apa yang di praktekkan oleh perbankan syariah, dimana pengembangan bagi hasil  akad murabahah  lebih besar dari pada akad musyarakah. Jika hal ini dilakukan terus menerus oleh BMT, maka peran BMT dalam menggerakkan sektor riil tak ada sama sekali. Untuk itu sebelum terlambat, dan agar BMT terus maju sebagai kekuatan ekonomi syariah nasional,” demikian hal tersebut disampaikan Setyo Heriyanto di Kantor Kemenkop, Jakarta (20/3).

Setyo menambahkan, akad musyarakah adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu, baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada BMT. Baca: Mengenal Akad Musyarakah Mutanaqisah

Dengan adanya pembiayaan Musyarakah, lanjut Setyo, konsep bagi hasil kedua belah pihak akan bisa berjalan dengan adil. Meski demikian, akad ini di BMT belum berjalan dengan baik, padahal banyak sektor riil seperti waralaba, perdagangan, dan property yang bisa menggunakan akad musyarakah. “Ini yang belum berjalan di BMT dan harus kita dorong terus menerus,” tegas Setyo.

Lebih lanjut dipaparkan Setyo, pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, di mata masyarakat masih sebatas pengembangan lembaga keuangan saja seperti perbankan dan lembaga non bank (asuransi, multifinance, pasar modal dan lembaga keuangan mikro). Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, presentasi pertumbuhan aset lembaga keuangan syariah jauh melebihi pertumbuhan lembaga keuangan konvensional. Sementara sektor riil syariah yang ada di masyarakat belum berkembang banyak. Baca: BMT Se-Indonesia Capai Aset Rp 4,7 Triliun

Menurut Setyo, hal ini disebabkan  karena pemahaman ekonomi syariah di Indonesia sebatas lembaga keuangan. “Padahal untuk menumbuhkan sektor riil syariah harus didukung oleh banyak stakeholder, termasuk lembaga keuangan syariah. Sektor industri riil syariah ini meliputi kuliner, perhotelan, wisata, kosmetik, obat-obatan dan lain-lain,” lanjut Setyo.

Setyo lantas memaparkan, Indonesia sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi untuk mengembangkan industri halal yang nantinya dapat mengembangkan sektor riil syariah dengan dukungan dari sektor keuangan syariah. “Dengan demikian pengembangan sekor riil syariah menjadi penting bagi sektor keuangan syariah karena keduanya mempunyai ketergantungan satu sama lain. Industri-industri halal ini tentunya harus diakomodir oleh lembaga keuangan syariah, baik dalam penghimpunan dana, jasa lalu lintas pembayaran maupun penyaluran pembiayaan kepada sektor riil,” ungkap Setyo.

Setyo menambahkan, selama ini pembiayaan lembaga keuangan syariah di Indonesia khususnya di perbankan syariah, 60 hingga 70% nya didominasi oleh akad murabahah (jual-beli). Dominasi akad murabahah pada portofolio pembiayaan lembaga keuangan syariah ini mengundang banyak kritik dari berbagai pemangku kepentingan, sebab sebagian besar dari penggunaan akad murabahah ini dipergunakan untuk pembiayaan konsumtif.