Ada yang namanya kartu kredit syariah, bolehkah menurut syariah? Kajian maqasid syariah diperlukan, agar produk keuangan syariah dapat menjawab kebutuhan masyarakat, sekaligus bersesuai dengan ajaran Islam.

Karena kartu kredit masih diperlukan oleh masyarakat, maka dapat dianggap ber-maslahah. Hanya, unsur riba dan tendensi konsumtifnya yang harus dihindari. Oleh karena itu, perbankan syariah juga memiliki kartu kredit syariah yang diistilahkan sebagai kartu pembiayaan syariah. Lantas apa yang membedakannya dengan kartu kredit konvensional?
Bukan Bunga tetapi Fee
Yang paling jelas adalah penghindaran bunga atau riba. Kartu kredit syariah tidak mengambil keuntungan dari penundaan pembayaran sebagaimana kartu kredit konvensional, melainkan dari jasa atas kemudahan transaksi yang diberikan oleh bank syariah.
Sesuai Fatwa DSN MUI No.54 tahun 2006, kartu kredit syariah di Indonesia beroperasi atas dasar tiga akad: yaitu ijarah (sewa), kafalah (pejaminan) dan qardh (pinjaman). Dari akad ijarah, bank syariah mengambil fee. Artinya, tidak ada pemindahan hak milik dari pihak yang menyewakan dalam hal ini bank kepada pihak penyewa atau nasabah.
Skema kafalah memungkinkan bank menjadi penjamin bagi nasabah atas transaksi yang dilakukannya. Penjamin kepada pihak merchant. ”Jaminan diberikan oleh bank atas transaksi yang dilakukan nasabah dengan menggunakan kartu kredit syariah. Dari situ juga bank berhak atas fee,” kata Agustianto.
Skema terakhir adalah qardh, nasabah membeli barang atau jasa menggunakan kartu kredit syariah dengan pinjaman, artinya ia wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
Nah, fee tidak didasarkan pada jumlah hari penundaan pembayaran sebagaimana pada kartu kredit konvensional. Karena itu berarti penguangan waktu (time value of money). Untuk menghindarkan kecenderungan penggunaannya kepada hal yang konsumtif, bank syariah hanya bekerjasama dengan merchant yang menjual produk halal. Memang, sulit juga diawasi, misalnya ketika berbelanja di supermarket, nasabah membeli minuman beralkohol. Namun setidaknya, dengan tidak bekerjasama dengan klub malam atau diskotik, bank syariah menghindarkan penggunaan kartu kredit syariah untuk hal yang maksiat.
Lebih lagi, fitur kartu kredit yang dimudahkan untuk modal usaha. Kartu kredit syariah dapat dijadikan pengganti kredit tanpa agunan (KTA) untuk usaha kecil mengengah (UKM) sebagaimana dilakukan oleh Hasanah Card dari BNI Syariah. Banyak hal dilakukan bank syariah untuk menjauhkan penggunaan kartu kredit syariah untuk hal yang konsumtif dan maksiat.
Bagaimana Bank Syariah Menentukan Pricing?
Nah, inilah yang oleh Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ini sebagai pengutamaan maslahah dalam keuangan dan perbankan syariah. Dan, ketika mengutamakan maslahah, sejatinya mendekati maqashid syariah.
Itu baru di satu bidang. “Kajian maqashid ini cukup luas, ini memberikan cara pandangan baru ekonomi Islam dan produk-produknya yang tidak hanya di permukaannya, juga rahasia di balik produk itu, nilai-nilai yang terkandung, dan tujuan-tujuannya”, kata Agustianto.
Contoh lain, mengenai penetapan nisbah bagi hasil atau margin pada transaksi berskema murabahah (jual beli) di bank syariah. Seoang peserta menanyakan, faktor apa saja yang membuat bank syariah menentukan pricing pembiayaannya?
Agustianto mengakui, bahkan di seluruh dunia pun, belum ada Islamic benchmarking yang diakui internasional. Untuk transaksi lokal, bank syariah menetapkan pricing dengan menggunakan sekitar 6-7 faktor, salah satu yang utamanya adalah suku bunga Bank Indonesia (BI Rate). Kalau di transaksi internasional, acuannya biasanya adalah LIBOR.
“Semua skema, baik murabahah, ijarah, atau yang berbasis bagi hasil, melihat kepada BI Rate, karena dalam kondisi ini, BI Rate itu adalah harga pasar. Nabi Muhammad dalam berdagang melihat harga pasar, misalnya yang ditawarkan bangsa Yahudi untuk menentukan harganya sendiri”, kata Agustianto.
Kendalanya, BI Rate bisa berubah-ubah, bahkan menurut Agustianto bisa lima kali berubah dalam tiga bulan, bagamana bank syariah harus menyikapinya mengingat marjin murabahah sudah disepakati di awall (fixed)? Inilah mengapa, marjin murabahah sering kali menjadi lebih mahal ketimbang bunga di perbankan konvensional. Sebagai ilustrasi, kalau di bank konvensional bunga kredit adalah 9% di bank syariah misalnya menjadi 11-12 %.
Beberapa faktor tersebut, menurut Agustianto adalah Bi Rate, keuntungan yang diharapkan, biaya yang dikeluarkan, titik balik modal, dan sebagainya. Namun menurutnya yang dominan memang masih BI Rate. “Dari segi itu, kelihatannya sekilas tidak beda dengan bank konvensional. Padahal, sebenarnya ini untuk untuk peperangan harga di pasar saja. Tetap saja, bank syariah tidak mengandung riba, karena ada barang yang diperjualbelikan”, kata Agustianto.
Namun, ulama dan bank syariah tidak tinggal diam, dicarilah skema yang dianggap lebih adil baik bagi nasabah maupun bagi banknya. Salah satunya musyarakah mutanaqisah (MMQ).
Bagi Hasil yang Maslahah
Beberapa fenomena kontemporer di keuangan dan perbankan syariah tanah Air menjadi jalan masuk pembahasan mengenai maqasid syariah. Salah satunya adalah mengenai profit equalization reserve (PER), ini adalah dana cadangan yang diambil dari bagi hasil haknya bank. Menurut the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institute (AAOIFI), adalah sebagian pendapatan kotor dari pendapatan murabahah yang disisihkan, sebelum mengalokasikannya ke bagian Mudharib (bank syariah) dengan tujuan memberikan imbal hasil yang lebih merata kepada pemilik rekening dan pemgeang saham. Ini pun atas persetujuan nasabah.
Menerapkan PER sekilas mengurangi imbal hasil bank dan nasabah, terutama ketika model bagi hasil pada bank syariah didasarkan pada gross profit bukan net profit. Bagi hasil untuk bank dan nasabah dihitung dari keuntungan sebelum pemotongan atas biaya-biaya. Tentu dengan adanya penyisihan lagi ketika menerapkan PER, bagi hasilnya menjadi lebih kecil. Namun hal ini dilakukan untuk memeratakan pendapatan nasabah dan mengamankan likuiditas bank.
Karena, pada dasarnya PER digunakan untuk mengantisipasi kerugian dari asset yang diinvestasikan, baik dari sisi bank syariah maupun dari pemilik rekening simpanan (shahibul maal). Dengan tujuan, memberikan tingkat imbal hasil yang sedikit lebih pasti. Sebagaimana diketahui, secara alamiah bisnis bank syariah sedkit lebih berisiko dari bank konvensional, khususnya pada implementasi transaksi-transaksi berskema bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Dengan adanya PER, bank syariah dapat menambah imbal hasil untuk nasabah ketika profit sedang tidak bagus. Sebaliknya pun bisa diterapkan untuk bank syariah itu sendiri.
Jadi, kepentingan bersama atau maslahah itulah yang diutamakan. “Dan, setiap kita mengkaji tentang masalahah, itu sebenarnya kita bicara tentang maqasid syariah”, kata Agustianto menjelaskan.
Meski begitu, sebenarnya yang ideal dalam bagi hasil adalah metode net profit. “Keuntungan bersih, jadi bank syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah, setelah dipotong biaya-biaya, nisbah bagi hasil baru dikalikan dengan profit itu, itu yang namanya profit and loss sharing (PLS) sejati. Konsep dasar bagi hasil menurut tiga mazhab dalam ajaran Islam adalah PLS itu. Tetapi dalam praktiknya di lapangan, para ulama fikih mempertimbangkan kemaslahatan, misalnya terkait kesiapan nasabah dan bank”, kata Agustianto menegaskan. Karena masyarakat kita kebanyakan belum siap untuk murni berbagi hasil, diperbolehkan penggunaan gross profit ini. Hal ini, menurut Agustianto sudah dituangkan dalam Fatwa DSN Mui no, 15 tahun 2000.

Kajian Maqashid Syariah dalam produk-produk Perbankan Syariah jarang sekali dilakukan, dalam forum-forum pelatihan perbankan syariah, kuliah atau buku-buku teks, bahkan topik ini belum pernah sama sekali dibahas secara mendalam dan komprehensif. Pendekatan kepada skema dan produk bank syariah didominasi pendekatan fikih muamalah yang selalu formalistik, bahkan cendrung kaku dan sempit akibatnya pemahaman Sumber Daya Insani (SDI) perbankan syariah, termasuk para direktur, kepala cabang group head dan bahkan dean pengawas syariah (DPS), sering terjerat kepada pola pemikiran yang formalistik dan tekstualis. Iqtishod Consulting mengadakan kajian ini dalam rangka memberikan pola pemikiran yang rasional, filosofis dan substansial dalam memandang akad-akad dan produk bank syariah kontemporer, seperti pandangan terhadap kartu kredit syariah. Selain kajian ini, lembaga ini juga memberikan aneka pelatihan terkait keuangan dan perbankan syariah, yang agendanya dapat dilihat di http://www.iqtishadconsulting.com.

