kelas menengah muslim

Buku “Memasarkan ke Kelas Menengah Muslim” akan Diluncurkan Habis Lebaran

[sc name="adsensepostbottom"]

Pakar marketing Yuswohadi akan meluncurkan buku “Marketing to the Middle Class Moslem“ pada Agustus 2014. Buku ini untuk membantu para pemasar memahami kelas menengah Muslim di Indonesia.

[su_list icon=”icon: hand-o-right”]Fokus “Kelas Menengah Muslim”:

  1. Kelas Menengah Muslim (1): “Berubahnya Lanskap Pemasaran”
  2. Kelas Menengah Muslim (2): Trendy, Educated, Affordable, Spiritual
  3. Kelas Menengah Muslim (3): Produk Bernilai, tidak Sekadar Berlabel Syariah
  4. Buku “Memasarkan ke Kelas Menengah Muslim” akan Diluncurkan Habis Lebaran

[/su_list]

middleclass muslimBuku ini merupakan hasil survei oleh Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS) tentang Kelas Menengah Muslim di Indonesia. Pasar Muslim yang dinilai cukup menantang. Bukan hanya karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, juga dinamika di umat Muslim Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Yuswohadi, sebagaimana dikutip dalam blognya, Yuswohadi.com, mengatakan, “Bahkan kami berani mengatakan selama 5 tahun terakhir pasar middle-class moslem di Indonesia telah mengalami revolusi karena adanya pergeseran perilaku yang sangat mendasar”. Beberapa pergeseran perilaku tersebut menyangkut beberapa fenomena, di antaranya boomingnya Bank Syariah, revolusi hijabers, komestika Muslim, hotel syariah, dan sebagainya.

Di fenemona bank syariah misalnya, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia mencapai biasa di angka 20-40% per tahun, melebihi pertumbuhan bank konvensional yang tak sampai 20%. Kini, hampir setiap bank memiliki unit syariah atau anak perusahaan bank syariah. Jumlah bank syariah hingga akhir 2013:  11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Revolusi Hijabers. Sekarang di mana-mana, perempuan berhijab. Khususnya perempuan kelas menengah muslim, mereka tidak lagi merasa canggung, malam kian percaya diri. Karena berhijab sudah menjadi tren dan keren. Para perempuan berhijab ini disebut juga hijabers. Mereka pun berkelompok dalam komunitas-komunitas hijabers.

Fenomena lainnya seperti menjamurnya hotel syariah. Menurut Yuswohadi, diawali oleh Hotel Sofyan sebagai pionir yang beralih dari hotel konvensional menjadi hotel syariah sejak tahun 1994, hotel syariah kini menjamur mencapai populasi 50-100 hotel. Jika konsep hotel syariah dulu dianggap aneh, kini sudah mulai diterima konsumen kelas menengah Muslim, bahkan bagi konsumen Non Muslim sekalipun.

Kita juga mudah mendapatkan entertainment bernuansa Islami saat ini. Ysuwohadi menyebutnya “Kegairahan Budaya Islam”. Hal ini bisa dilihat dari bertebarannya buku atau novel bernuansa Islam, aplikasi bernuansa Islam, film dan sinetron bernuansa Islam, musik bernuansa Islam, reality show bernuansa Islam, dan sebagainya.

Dari berbagai fenomena tersebut, Yuswohadi membagi empat sosok konsumen Muslim. Dulu orang tak begitu peduli dengan makanan halal, kini mereka menjadi sangat peduli. Survei yang dilakukan Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS) menunjukkan 95 persen konsumen kosmetik mengecek label halal saat membeli produk. Dulu kaum Muslim tak begitu peduli dengan riba, kini mereka mulai menghindari riba. Buktinya bank syariah tumbuh hingga mencapai 40 persen pertahunnya. Begitu pula kaum wanita muslim kini semakin konsern untuk menutup auratnya, terbukti dengan munculnya fenomena revolusi hijab.

Setelah melakukan survei kualitatif, Yuswohadi memetakan profil konsumen kelas menengah Muslim Indonesia ke dalam: Apathist, Conformist, Rationalist, dan Universalist.

Apathis
Tipe konsumen berpengetahuan, berwawasan, dan memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah. Di samping itu, konsumen ini memiliki kepatuhan dalam menjalankan nilai-nilai Islam yang juga rendah. Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlabel Islam atau menawarkan value proposition yang Islami. Karena itu mereka tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai keislaman ataupun tidak.

Rationalist
Tipe konsumen dengan pengetahuan luas, tebuka, dan berwawasan global, tetapi tidak begitu taat atau patuh pada ajaran Islam. Segmen ini sangat kritis dan pragmatis dalam melakukan pemilihan produk berdasarkan parameter kemanfaatannya. Namun dalam memutuskan pembelian, mereka cenderung mengesampingkan aspek-aspek ketaatan pada nilai-nilai Islam. Bagi mereka label Islam, value proposition syariah, atau kehalalan bukanlah menjadi konsideran penting dalam mengambil keputusan pembelian.

Conformist
Kalau yang ini, dapat disebut agak konservatif. Tipe konsumen muslim yang umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Karena keterbatasan wawasan dan sikap yang konservatif/tradisional, mereka dengan tidak ragu memilih produk bernuansa Islami.

Universalist
Tipe konsumen Muslim dengan pengetahuan/wawasan luas, pola pikir global, dan melek teknologi; namun di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Mereka biasanya tidak malu untuk berbeda, tetapi di sisi lain mereka cenderung menerima perbedaan orang lain. Singkatnya mereka adalah sosok yang toleran, open-minded, dan inklusif terhadap nilai-nilai di luar Islam.

Nah, buku ini menurut Yuswohadi akan memaparkan strategi menggapai pasar Muslim dengan perkembangan terbarunya tersebut. Misalnya, pemasar harus memahami, “Customers become more religious. They begin to search for spiritual value”. Di lain pihak, brand juga sebaiknya harus lebih inklusif dengan ikon-ikon universalnya.