Oleh Dr. Taufan Maulamin, SE.Akn, MM, Sekjen APPERTI
Kebebasan agama menjadi salah satu butir deklarasi HAM serta kewajiban negara dalam
pemenuhan HAM bagi warga negara. Indonesia telah meratifikasi Hak-hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights) melalui pengesahan UU Nomor 12
Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Agama menjadi hak dasar bagi
warga negara yang melekat dan tidak bisa dihilangkan (inalienable right). HAM menjadi hak
hukum yang wajib bagi negara untuk diberikan kepada warga secara mandiri.
Busana dengan ciri keagamaan merupakan hak asasi para penganut agama. Dia menjadi
pemenuhan HAM yang wajib dilindungi oleh negara yang telah meratifikasi Deklarasi
Universal HAM (DUHAM). Selain itu, Indonesia menjamin kebebasan beragama sesuai
dengan Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Sebagai mayoritas di Indonesia, umat Islam memiliki peran yang begitu besar dalam
kehidupan sosial dan politik. Di bidang pendidikan, tidak sedikit pelajar muslim yang
menorehkan prestasi dan mengharumkan nama negara di kancah internasional. Pondok
pesantren telah mencetak kader-kader terbaik untuk dijadikan pemimpin di negara ini. Di
antara mereka, memiliki tafsir keagamaan yang beragam yang kemudian mewujud pada
diversifikasi busana keagamaan. Ini tentunya menjadi kekayaan budaya dan keagamaan
yang harus mendapat apresiasi negara atas nama perlindungan HAM.
Dalam khasanah agama, khususnya Islam, penghormatan terhadap perbedaan mendapat
tempat yang tinggi, tentunya sepanjang perbedaan furu’. Para ulama saling menghormati
dengan argumentasi keagamaan masing-masing. Ulama-ulama empat mazhab pun tetap
menjaga silaturahmi meski mereka memiliki perbendangan pandangan dalam hal agama
maupun sosial keagamaan. Ini sesuai dengan semangat kaidah ushul fiqh yang terkenal di
kalangan pesantren Dar-u al mafāsid muqaddam-un ‘alā jalb-u al mashālih (mencegah
kerusakan itu lebih didahulukan daripada melakukan perbuatan baik).
Cadar atau niqob menjadi salah satu perdebatan dalam khasanah keilmuan Islam klasik dan
kontemporer. Mayoritas fuqaha klasik (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali) berpendapat wajah wanita tidak dikategorikan terlarang untuk dibuka alias bukan
aurat. Namun, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. Menurut
madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang
memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi
lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).
Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar, artinya menutupi
wajahnya sampai mata, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Mereka menyatakan
bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang
dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau
maraknya kebejatan moral.
Ulama kontemporer, Syaikh Yusuf Qardhawi pernah mengeluarkan fatwa soal hukum
bercadar pada 1995. Ketua Persatuan Ulama se-Dunia tersebut menegaskan perdebatan
menyoal cadar masuk ranah ijtihad. Dalam fatwanya itu, Syaikh al-Qaradhawi
menggarisbawahi tidak ada kewajiban untuk bercadar, meski dipersilakan bagi mereka yang
ingin mengenakannya. Menurutnya, jika dalam kondisi merebaknya fitnah, para ulama bisa
saja menyarankan untuk memakai cadar.
Adanya pihak perguruan tinggi di Indonesia yang melarang mahasiswinya untuk
mengenakan cadar tentu tidak sesuai dengan semangat pemenuhan HAM di Tanah Air.
Selain, kebijakan tersebut ahistoris dengan khasanah keilmuan Islam, baik klasik dan
kontemporer, yang saling menghargai atas perbedaan pendapat. Apalagi jika pimpinan
perguruan tinggi tersebut mengancam akan mengeluarkan mahasiswi yang bercadar,
tentunya menambah deretan ketidakprofesionalan pengelola kampus.
Busana dengan corak keagamaan menjadi ciri khas kebudayaan di dalam negeri, baik Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya. Pemerintah pun memberikan kebebasan atas
busana keagamaan dengan dalih otonomi kampus. Dengan demikian, seharusnya tidak
boleh ada larangan mengenakan cadar, sebagaimana juga tidak adanya larangan untuk tidak
berjilbab.
Alasan pelarangan cadar dengan alasan radikalisme menunjukkan kemunduran berpikir.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja tidak memiliki pandangan seperti itu. Lalu, apa landasan
argumentasi pengelola kampus menyamakan radikalisme dengan cadar? Ini tentu harus
mendapat penjelasan ilmiah dari pihak kampus berdasarkan khasanah keislaman.
Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (APPERTI) telah menyampaikan sikap menolak
dengan tegas adanya kebijakan tersebut. Penolakan itu mengingat larangan ini bisa saja
merembet ke berbagai kampus dan menjadi isu nasional yang seharusnya tidak perlu
terjadi. APPERTI siap mengadvokasi kepada siapa pun yang tidak mendapatkan hak asasinya,
khususnya hak beragama.
APPERTI pun menilai larangan mahasiswi mengenakan cadar di kampus berpotensi
melanggar konstitusi negara, salah satunya sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang
Maha Esa. Kebijakan tersebut mencoreng reputasi pendidikan di Tanah Air, khususnya di
tengah maraknya kerusakan moral, gaya hidup tak beradab, dan pergaulan seks bebas. (*)

