Salah satu isu terkait persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah mengenai produk perbankan atau keuangan syariah yang tidak berkembang dan tidak inovatif. Oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) pun mendorong praktisi keuangan syariah agar lebih kreatif dalam menciptakan suatu produk baru.

Ketua Badan Pengurus Harian DSN MUI, Ma’ruf Amin, menuturkan ada tuntutan dari beberapa pihak agar DSN MUI bisa lebih terbuka dan menerima produk-produk perbankan dan keuangan dari luar agar berkontribusi terhadap peningkatan kinerja lembaga keuangan syariah. Namun dalam konteks ini, lanjut Ma’ruf, pihaknya berpandangan bahwa tanpa menutup kemungkinan untuk menerima produk-produk luar, apa yang seyogyanya dilakukan oleh praktisi adalah bagaimana melakukan kreatifitas untuk melahirkan sendiri produk-produk keuangannya yang memang berbasiskan kebutuhan lokal atau domestik. Baca juga: OJK Dorong Inovasi Produk Lembaga Keuangan Syariah
“Produk khas Indonesia yang mungkin penamaan atau istilahnya baru di industri perbankan nasional bahkan global. Produk perbankan yang tidak senantiasa mengandalkan produk-produk standar atau sekedar “membebek” pada produk luar,” kata Ma’ruf, dalam Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas Syariah X Tahun 2014, Selasa (16/12).
Ia memaparkan keharusan untuk berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan produk khas Indonesia paling tidak dilatarbelakangi oleh dua faktor yaitu jumlah penduduk Muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah dan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
“Bahkan tidaklah berlebihan dengan beberapa faktor distinctive tersebut sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Biarkanlah negara-negara Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura berkembang dengan latar belakang sosio-ekonomi, sosio-grafis-nya masing-masing, sementara Indonesia menciptakan kekhasan produk perbankan syariah-nya sendiri. Di sinilah diperlukan praktisi perbankan syariah yang berjiwa entrepreneur,” papar Ma’ruf.
Ia menambahkan DSN MUI dengan perangkat Dewan Pengawas Syariah senantiasa siap menyambut tantangan tersebut dengan kajian fatwanya karena sesungguhnya celah pembaruan hukum senantiasa terbuka dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru dan yang terbarukan. “Jadi penekanannya adalah berada di wilayah peran praktisi atau industri yang seharusnya inovatif dan kreatif dalam mengembangkan produk-produk baru,” tukas Ma’ruf.
Hal ini, lanjutnya, dikarenakan pada hakikatnya celah pembaruan hukum dengan wujudnya fatwa distimulus oleh permintaan fatwa dari peminta fatwa. Pembaruan fatwa bisa berbanding lurus dengan inovasi produk yang ditawarkan oleh pihak-pihak yang meminta fatwa. Disinilah perlu kolaborasi yang terus menerus dan berkesinambungan antara pemerintah, DSN MUI, industri dan stakeholder keuangan syariah lainnya untuk sama-sama menumbuhkembangkan industri keuangan dan perbankan syariah dalam kerangka kepentingan nasional.
Ia menambahkan Indonesia perlu meniru Malaysia dalam hal menjadikan kemajuan industri keuangan dan perbankan syariah sebagai kepentingan nasional karena produk keuangan dan perbankan syariah di Malaysia telah menjadi salah satu keunggulan komparatif yang senantiasa didukung dan dikembangkan dengan berbagai cara dan strategi. “Produk keuangan dan perbankan syariah tidak lagi dipandang secara sempit untuk kepentingan agama tertentu, tetapi sejatinya memiliki potensi untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Tidak hanya Malaysia, bahkan di negara-negara seperti Inggris, Luxembourg, Singapura pun mengambil langkah-langkah strategis untuk mengembangkan keuangan dan perbankan syariah,” pungkas Ma’ruf. Baca juga: Evolusi Produk Bank Syariah Malaysia

