Sekuritisasi aset masih menjadi hal langka di industri keuangan syariah. Regulasi memang sudah tersedia, namun masih kurang spesifiknya aturan yang ada dan sejumlah kendala lainnya membuat efek beragun aset (EBA) syariah belum eksis di tanah air.
Kepala Bagian Pengembangan Kebijakan Pasar Modal Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Arif Machfoed, mengatakan peraturan mengenai EBA syariah sudah ada sejak 2006, tetapi sampai saat ini belum ada yang menerbitkannya. Ia memaparkan peraturan mengenai EBA Syariah telah terdapat dalam Peraturan No IX.A.13 tahun 2006. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa No 40 tentang Portofolio EBA Syariah. Sementara, dari aspek akuntansi juga sudah ada pedoman standar akuntansi keuangan.
“Pada dasarnya aturan sudah mendukung, dan dari sisi akuntansi tidak ada masalah. Namun peraturannya memang kurang spesifik, contohnya dalam peraturan OJK aset yang bisa disekuritisasi tidak dijelaskan lebih lanjut dan di fatwa DSN MUI mengenai tagihan yang memenuhi prinsip syariah, apakah seluruh tagihan bisa disekuritisasi? Ternyata tidak semua, tapi hanya pembiayaan berakad ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT) dan musyarakah mutanaqisah,” papar Arif, dalam Forum Riset Keuangan Syariah 2014 di Institut Pertanian Bogor, Rabu (15/10).
Padahal, produk EBA syariah sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai sarana pendanaan dan investasi. Peluang bank syariah untuk menerbitkan EBA syariah pun sangat besar karena memiliki rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga sekitar 100 persen dan jumlah pembiayaan IMBT mencapai Rp 4 triliun.
Selain itu, lanjut Arif, yang menjadi tantangan lainnya adalah Bank Indonesia telah mengatur bahwa bank yang bisa menerbitkan EBA syariah adalah bank yang masuk dalam kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) 3 dan 4. Sementara, bank umum syariah belum ada yang masuk kategori BUKU tersebut karena masih di kelompok BUKU 1 dan 2.
Arif mengakui memang ada unit usaha syariah (UUS) yang bank induknya sudah masuk di BUKU 3 dan UUS tersebut bisa melakukan sekuritisasi, namun belum ada yang melakukannya. Hal lainnya yang patut diperhatikan adalah jika UUS spin off menjadi bank umum syariah, maka dikhawatirkan akan terjadi potensi penurunan kelas ke BUKU yang lebih rendah.
“Jadi perlu ada penyempurnaan aturan apa saja yang bisa menjadi underlying penerbitan EBA syariah, perlu adanya fatwa yang lebih jelas akad apa saja yang bisa dipakai untuk penerbitan EBA syariah, dan harus ada kekhususan apakah penerbitan EBA syariah yang hanya bisa dilakukan bank kategori BUKU 3 dan 4, apa bisa diturunkan kategori BUKU-nya untuk bank syariah?,” papar Arif. Dengan demikian, harapannya akan dapat lebih mendorong bank syariah untuk menerbitkan EBA syariah.
