Di tidak terhindarkannya teknologi keuangan, fintech pun menjadi hal yang menarik dan menjanjikan. Pun dengan fintech syariah.
Disrupsi tak terhindarkan, financial technology atau fintech, juga disinyalir akan menerpa industri keuangan syariah dan melahirkan fintech syariah. Pakar keuangan Islam yang juga Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc., mengatakan, setidaknya ada enam acuan yang harus dipegang oleh fintech syariah, yaitu aspek hukumnya, tata kelolanya, akuntansinya, audit, pengawasan syariahnya, dan etikanya.
Enam acuan ini tidak lahir begitu saja, melainkan melalui serangkaian kajian dan diskusi yang dilakukannya. Untuk menyokong perkembangan keilmuan terkhusus fintech syariah, Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc. menginisiasi Pusat Kajian Fintech Syariah di STEI Tazkia. Peresmian dilakukan oleh Ketua STEI Tazkia, Dr. Muhammad Syafii Antonio M.Ec pada Sabtu (30/9).
Mengapa perlu ada pusat kajian fintech syariah? Seberapa menarik bisnis fintech ini? Di sela-sela seminar “Arah dan Tantangan Fintech Syariah di Indonesia” pada Sabtu (30/9), kepada MySharing, doktor akuntansi lulusan Adam Smith Business School, University of Glasgow, Skotlandia, ini memaparkan, sejatinya sampai saat ini belum ada fintech syariah dalam artian resmi memiliki izin dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, trennya akan ke sana dan STEI Tazkia menyiapkan diri sebagai pakarnya, sejak awal.
Apa tujuannya mendirikan Pusat Studi Fintech Syariah ini?
Bulan ini kami mendirikan 11 pusat studi. Tujuannya, sebagai wadah bagi dosen-dosen di STEI Tazkia untuk berdiskusi dengan praktisi dan ahli di luar Tazkia. Diharapkan banyak pemikiran yang bisa dijadikan kajian strategis dan bisa dijadikan acuan bagi industri. Khusus pusat studi fintech syariah ini ternyata luar biasa. Ketika kami baru membuat kajian kecil saja beberapa waktu lalu, yang bertanya ingin tahu banyak. Bahkan ada yang sampai datang ke Tazkia tanpa diundang. Kami merasa ada peluang di situ yang kemudian harus dijadikan pusat kajian yang lebih formal, bukan hanya untuk bicara di forum yang tidak ada hasilnya, yang tidak bisa dijadikan rujukan bagi industri. Karena itu, fintech syariah ini kami dahulukan. Yang urgent juga, koperasi syariah. Kami juga akan meluncurkan pusat kajiannya.
Baik, apa output yang diharapkan dari pusat studi fintech syariah ini?
Output-nya adalah policy direction. Hasil riset yang nanti bisa dibentangkan ke industri dan pelaku yang lain, bahwa fintech syariah harus dirapihkan dari sisi hukumnya, tata kelolanya, akuntansinya, audit, pengawasan syariahnya, juga dari segi etikanya. Enam hal ini yang akan menjadi acuan bagi para pelaku fintech syariah. Kedua, untuk publik. Yang paling penting adalah bagaimana kita melindungi hak publik, karena sudah ada misalnya, fintech syariah yang berkembang, ternyata belum ada infrastruktur seperti izin atau pengawasan dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dalam bentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). Meskipun, ini niatnya baik tapi tidak didukung dengan infrastruktur yang baik, bisa menjadi moral hazzard bagi nasabah.
[bctt tweet=”Belum ada fintech syariah yang mendapat izin resmi dari DSN MUI dan OJK” username=”my_sharing”]
Baik, hanya, apakah fintech menarik secara bisnis?
Mungkin tergantung dari platform bisnis yang dipakai. Memang, yang cost based-nya cukup besar untuk yang berbentuk aplikasi. Mereka memang berinvestasi untuk mengeruk sebanyak-banyaknya pengguna dengan menggunakan datanya di kemudian hari, untuk menjual barang-barang yang baru. Tapi ketika bicara crowdfunding, sudah ada contohnya, sudah cukup menggiurkan, yaitu kitabisa.com misalnya. Merka ada ambil 5% sebagai wakala bil ujrah atau biaya administrasi. Itu cukup, biaya mereka untuk membuat startup tidak banyak. Kalau aplikasi seperti Go Jek dan Uber, mereka akan bombastis, karena mereka akan pakai data itu di masa depan. Tentang pemanfaatan data ini saya ilustrasikan. Jika Anda pernah mencari dengan kata kunci di mesin pencari, “bagaimana menghitamkan rambut”. Lalu hari berikutnya, Anda membuka Facebook, lalu ada iklan penghitam rambu terlihat di timeline. Jadi, fintech syariah tidak sekadar mengumpulkan data seperti startup lainnya.
Baik, banyak orang mengatakan fintech adalah ancaman bagi perbankan, menurut Anda?
Perbankan sendiri, sudah menjadi satu startup, sudah memiliki kemampuan yang luar biasa dan infrastruktur terutama. Hal yang ana fintech tidak memiliki kemampuan seperti bank. Mereka (fintech—red) mampu interfacing, di lain pihak bank bisa melakukan bayak hal, tinggal disuntik saja. Oleh karena itu, tidak salah jika menurut Ibu Rima (Rima Dwi Permatasari, SH, Kadiv Dana dan Transaksi BNI Syariah—red) yang tadi mengatakan BNIS siap menjadi mitra bagi startup. Kan startup perlu rekening bank, nah BNI Syariah siap menjadi rekening penampungnya (escrow). Bank memang sudah diambil alih fungsinya oleh fintech untuk menggalang dana antara sahibul maal dan mudharib, tapi back end-nya masih pakai bank.
[bctt tweet=”BNI Syariah siap menjadi mitra bagi startup!” username=”my_sharing”]
Bagaimana Anda melihat potensi fintech syariah di Indonesia?
Fintech syariah besar potensinya. Karena memang seperti yang kita ketahui, literasi keuangan kita rendah, bahkan dikatakan hanya 10% yang tahu keuangan syariah. Jadi orang yang tidak tahu keuangan syariah dan tidak tahu bank, itu adalah 60% sendiri. Tapi yang 60% ini bukannya unbankable, mereka adalah mustadh’afiin. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu menggali informasi, orang yang tidak mampu pergi dari kampungnya ke kampung lain untuk mendapatkan modal dari bank syariah. Mereka tidak mampu bekerja secara sistematis, seperti memiliki governance dan sebagainya. Nah, ini peluang bagi fintech. Jadi bayangkan, misalnya orang di kampung sekarang kan sudah tahu bagaimana mengecek Instagram, sudah tahu bagaimana membaca (informasi di internet—red). Jadi misalnya mereka membaca, ijarah adalah akad sewa menyewa dan sebagainya. Tinggal klik aja, misalnya untuk berijarah dengan yang lain melalui sebuah platform fintech. Tidak harus mereka pergi ke customer service bank. Lalu, di fintech juga biasanya ada chat live, jadi dia bisa bicara dengan customer service-nya.
Sudah adakah fintech syariah di Indonesia?
Belum ada yang mendapatkan izin dari DSN MUI dan OJK. Memang, ada Paytren yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI, tapi Paytren itu payment gateway, dia izinnya ke BI, kalau dia mau menyelenggarakan lending, izinnya harus ke OJK. Jadi belum, ada fintech syariah yang dalam artian mendapat izin dari DSN MUI dan OJK. Mungkin Investree yang sedang berproses. Kalau kitabisa.com, memang tidak pernah berakad syariah, tapi sebenarnya bisa memakai akad syariah.



