Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan pemerintah agar mengatur dan menerbitkan pembayaran DAM bagi jamaah haji Indonesia sesuai dengan Fatwa MUI No. 52 Tahun 2014. Fatwa ini dikeluarkan guna menjamin terlaksananya ibadah haji secara benar dan syar’i.
Demikian disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin AF, dalam konferensi pers di kantor MUI Pusat Jakarta, pada Selasa (3/3).
Menurutnya, selama ini dalam pelaksanaan pembayaran DAM bagi jamaah haji dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi dengan baik. “Terkait fatwa tersebut, bahwa melakukan pembayaran DAM atas haji tamattu atau qiran, secara koletif sebelum adanya kewajiban, hukumnya boleh,” kata Hasanuddin,
Ia menjelaskan, ketentuannya, pada saat pembayaran menggunakan akad wadi’ah (titipan), sedangkan pada saat pelaksanaan menggunakan akad wakalah (perwakilan). Kemudian jamaah haji sebagai muwakkil memberikan mandat penuh kepada wakil untuk menunaikan kewajibannya. “Orang atau lembaga yang menerima perwakilan (wakil) harus amanah dan memiliki kemampuan menjalankannya sesuai dengan ketentuan syariah,” kata Hasanuddin.
Selanjutnya, kata dia, melimpahkan pelaksanaan kewajiban DAM atas haji “tamattu” atau ”qiran” dari calon jamaah haji sebagai wakil kepada muwakkil, dengan membayarkan sejumlah dana untuk pembelian hewan ternak dan disembelih di tanah haram, hukumnya sah.
Begitu pula dengan memasukkan dana DAM ke dalam komponen biaya haji yang dikelola oleh penyelenggara perjalanan haji adalah mubah (boleh). Dengan syarat sumbernya dibenarkan secara syar’I dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana DAM sebagaimana dimaksud bersifat amanah (yadul amanah).
Namun, katanya, apabila jamaah haji yang dalam pelaksaaan ibadahnya tidak terkena kewajiban DAM. Maka dana tersebut wajib dikembalikan kepada yang berhak. Kemudian mengelola dan menyalurkan daging DAM untuk kepentingan fakir miskin di luar tanah haram Makkah, hukumnya mubah (boleh).