Hukum Kontrak Islam Indonesia Masih Lemah

[sc name="adsensepostbottom"]

Penerapan hukum kontrak Islam di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini karena industri masih menyerahkan masalah sengketanya kepada pengadilan umum bukan ke pengadilan agama.

syariah-1Dosen Fakultas Hukum Indonesia, Dr. Gemala Dewi. M. A, mengatakan, di beberapa negara sudah terlihat bahwa ekonomi syariah sedang mengeliat begitu juga di Indonesia. Namun demikian, lanjutnya, bagaimana aktivis, industri dan praktisi perpanjangan terhadap hukum kontrak syariah saat ini, apakah berbeda? Lalu apa bedanya antara syariah dan tidak syariah, yang menjadi titik tolaknya?

”Justru semua kegiatan ekonomi dasarnya adalah dari transaksi pembuatan kontrak dari akad/ijab kabulnya. Masing-masing akad punya tujuan, dasar dan bentuk sendiri-sendiri,” kata Gemala, dalam Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah 2015 di Universitas Indonesia (UI) pada pekan lalu.

Menurutnya, inilah yang mungkin belum dipahami oleh orang hukum dan masing sangat terlena kriis hukum.”Tanggal 17-18 April lalu, saya ke Bali. Itu Asosiasi dosen hukum perdata masih mengkaji bagaimana hukum perdata Belanda (New BW),” kata Gemala. Ia mengungkapkan, bagaimana mereka membuat kodifikasi, aplikasinya di Indonesia nantinya. Ada satu sisi dari akademisnya demikian, lalu darfi pembuat kebiajakannya.. Di Indonesia ini pembuatan undang-undang, praktisi hukum itu dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Tahun 2014 sampai awal 2015 ini, mereka berjalan sendiri, tidak melihat kiri dan kanan bagaimana perkembangan ekonomi di Indonesia. ”Mereka hanya memandang bahwa hukum kita sudah banyak terlambat. Tapi mereka hanya melihat dari konsep Eropa, yang mengarah ke common low sistem. Kalau di Indonesia kan civil law. Artinya struktural pembuatan UU itu mempunyai tata aturan, hirarkinya. Sedangkan common law sistem itu dari kebiasaan-kebiasaan bisa dibuat kebijakan,” tegas Gemala.

Asosiasi tersebut, lanjutnya, hanya mengarahkan ke sistem common law. Mereka juga sampau membuat RUU, hukum kontrak nasional sudah dikaji tanpa sedikit pun melibatkan aspek syariah. ”Tidak ada orang syariah satu pun untuk diajak berbicara membuat RUU tersebut,” tukasnya.

Ia mengaku merasa riskan dengan keadaan seperti ini, karena yang syariah melihat dari sisi syariahnya betul-betul. Sehingga menghasilkan kontilasi hukum ekonomi syariah yang kalau dipraktekan tentu kekuatan hukumnya sangat lemah. Kenapa lemah? Karena memang kontilasi itu bukan merupakan tata perundangan di Indonesia. Jadi sanksinya juga tidak ada, sehingga kalau tidak dilaksanakan pun nantinya kebijakan hakim.

Dalam praktek pun, lanjutnya, industri syariah tidak melimpahkan perkaranya ke pengadilan agama, sedangkan kontilasi ekonomi syariah itu hanya ditujukan berdasarkan peraturan Mahkamah Agung (MA) untuk dilaksanakan di pengadilan agama. Terutama menurut Gemala, kebanyakan di bank-bank, mereka menyelesaikan sengketanya di pengadilan umum. Lalu titik tolaknya dimana? Dan kembali lagi ke New BW kodifikasi hukum kontrak zaman Belanda. ”Nah di sinilah kondisi kita. Saya mempertanyakan bagaimana pandangan para akademisi, apakah perlu atau tidak, ada keinginan untuk belajar syariah atau tidak?,” tegasnya.

Ia menuturkan, sejak zaman Belanda memang masalah kontrak ini sudah dijauhkan dari aktivitas orang Indonesia. Sejak 1937, adanya sekulerlisasi Belanda. Bahkan sejak ada Belanda yakni dari tahun 1602 sampai abab 20, sebetulnya hukum Islam itu berlaku di Indonesia. Dengam memperblakukan Masa Besluiten Regerings (BR) 1855. Yang menyatakan, apabila terjadi sengket antar umat Islam diberlalukan hukum Islam.

Jadi, tegasnya, selama zaman Belanda, hukum Islam itu berlaku selama 200 tahun. Tapi akhir-akhir awal abad 20 barulah adanya sekulerisme. Belanda membuat aturan yang sesuai dengan Eropa mengeluarkan sisi agama tidak boleh berpengaruh pada peraturan apapun. ”Di sinilah hukum Islam terutama yang kontrak ini tidak dipraktekkan, tidak tersentuh,” ujarnya.

Menurutnya, kalau kita membahas syariah tentu hukumnya itu yang paling penting yaitu kalau terjadi sengket pakai hukum syariah. ”Kalau kembali lagi ke hukum BW ya enggak ada batasan mereka, bunga ya enggak apa-apa. Nah justru syariah itu ,” kata Gemala. Ia berharap kedepannya dari sisi hukum akan tergerak semua bersinergi baik yang dari sisi syariah dan hukum nasional.

Lebih lanjut ia  menuturkan, bahwa dirinya sudah membuat penyataan ke Majelis Ulama Indonesaia (MUI), apakah ini melegalkan atau memodifikasikan hukum kontrak. Namun, katanya, sepertinya MUI masih jauh berpikiran seperti itu. Hanya saja mungkin praktisi dan akademisi merasa sudah cukup, tapi masyarakat menyatakan tidak cukup dan tidak memenuhi kalau sekedar hanya kompilasi saja. Karena ketentuan yang jelas itu masih harus menjadi pegangan.

Yang diharapkan kalau misalnya, hukum kontrak syariah ini bisa dikodifikasi dengan peraturan perundang-undangan. Maka, kemana pun perginya baik melalui administrasi maupun pengadilan ada patokannya. ”Siapa pun hakimnya, aturan mainnya ada jadi enggak akan sulit. Cuma sekarang ini sepertinya masih sangat jauh. Karena dari industri syariah sendiri, mereka sepertinya belum menganggap penting adanya UU hukum kontrak syariah ini,” katanya. Alasan mereka, lanjutnya, karena semua bisa diatur dalam peraturan administrasi.