Menjadi kelas menengah Muslim di Indonesia adalah mengikuti tren, terdidik, mampu, dan lebih spriritual. Selintas gaya hidup kelas konsumer ini yang dipotret oleh buku Marketing to the Middle Class Moslem.
[su_list icon=”icon: hand-o-right”]Fokus “Kelas Menengah Muslim”:
- Kelas Menengah Muslim (1): “Berubahnya Lanskap Pemasaran”
- Kelas Menengah Muslim (2): Trendy, Educated, Affordable, Spiritual
- Kelas Menengah Muslim (3): Produk Bernilai, tidak Sekadar Berlabel Syariah
- Buku “Memasarkan ke Kelas Menengah Muslim” akan Diluncurkan Habis Lebaran
[/su_list]
Andri (47) menyekolahkan dua anaknya di sekolah Islam internasional karena alasan standar kualitasnya yang berkelas. Di sekolah ini, dua putranya mendapatkan pelajaran pengetahuan umum dan ilmu agama secara proporsional.
Novi (31) adalah salah satu penggemar Fatin, penyanyi muda pemenang X Factor Indonesia, kontes menyanyi di sebuah stasiun televisi swasta yang mengadopsi dari program serupa di Amerika Serikat (AS). Melihat Fatin, Novi mengaku bangga karena perempuan berhijab pun bisa memiliki peluang untuk mewujudkan cita-citanya sebagai penyanyi. “Ia (Fatin) memotivasi perempuan. Meskipun berhijab perempuan bisa mengekspresikan diri untuk berkarir sebagai penyanyi”, kata Novi sebagaimana dikutip buku Marketing to the Middle Class Moslem (Gramedia: 2014).
Dalam buku karya Yuswohadi, pakar marketing dari Center for Middle Class Studies dan Incenture ini, komentar kelas menengah Muslim tentang preferensi konsumsi dituliskan. Dalam kurang lebih delapan bab mengenai tren gaya hidup kelas menengah Muslim di Indonesia saat ini.
Andri yang memilih sekolah Islam internasional untuk dua putranya mendukung paparan Yuswohadi dan tim penulis tentang preferensi menddidik anak di kalangan kelas menengah Muslim Indonesia. Semakin tinggi kualitas hidup kelas menengah Muslim, semakin dituntut mereka untuk bekerja mencari penghasilan. Kebanyakan bekerja di sektor informal, yang berarti terikat waktu dan ruang di hari kerja. Bahasa umumnya, pergi pagi pulang malam. Tidak cukup hanya suami yang menjadi bread winner atau pencari nafkah satu-satunya, isteri juga seringkali harus bekerja. Seiring dengan kian terdidiknya kelas menengah juga, perempuan kebanyakan menilai emansipasi sebagai bekerja di sektor informal.
Ibu pun tidak dapat berseharian bersama anak-anaknya, misalnya untuk mendidik anak. Kompensasinya adalah menyekolahkan anak di sekolah yang dianggap mampu membangun karakter siswa. Ketakutan akan pengaruh pergaulan bebas dan narkoba di kalangan remaja perkotaan kini juga menyokong keputusan kelas menengah mencari sekolah bagus. Bagus dalam artian memberikan pendidikan agama, sejak kelas menengah masih menganggap agama sebagai penjaga moral terbaik.
Terjadi pergeseran pilihan sekolah dibandingkan era ’80-’90-an. Dulu pilihan pertama jatuh ke sekolah negeri, kini bukan masalah negeri atau swasta, tetapi kualitasnya membentuk karakter anak. Maka, meski sekolah Islam internasional yang notabene adalah sekolah swasta cenderung mahal, kelas menengah siap membayar.
Kelas menengah Muslim cenderung progresif, mereka segera mengunyah akulturasi budaya Islam yang adiluhung dan Barat yang modern ketika penawarannya tersedia. Fatin, sebagaimana digemari Novi, adalah salah satu wujud akulturasi itu. “Fatin yang berhijab, mewakili ke-Islaman bertemu dengan X Factor yang modern. Kita tidak bisa menampik apa-apa yang datang dari Barat, masih tetap lebih keren untuk kita”, kata Yuswohadi dalam Bedah Bukunya di PPM Management (15/7).
Pun dengan pilihan sekolah ala Andri. Ia ingin anaknya belajar sains modern sekaligus agama. Agar, anaknya dapat bersaing di pasar ketika dewasa nanti, sekaligus menjadi pribadi yang berakhlak. Tim penulis mengatakan di buku ini halaman 179, “Maraknya fenomena sekolah Islam internasional adalah jawaban gaya mendidik orangtua kelas menengah Muslim yang cukup mampu, knowledgeable, tapi cenderung tak punya banyak waktu (low involvement). Mereka ini cenderung melihat pentingnya pendidikan agama/ karakter sekaligus ilmu pengetahuan umum bagi anak-anak mereka”.
Kelas menengah Muslim cenderung progresif, mereka segera mengunyah akulturasi budaya Islam yang adiluhung dan Barat yang modern ketika penawarannya tersedia.
An Easy Lemonade Ice Tea
“Banyak minuman khas di bulan puasa yang sering kita nikmati. Namun kali ini Hijup akan memberikan resep minuman yang paling sederhana dan sering kita jumpai saat makan. Rasa manis dan asam Ice Lemon Tea akan memberikan kesegaran ketika berbuka puasa”, begitu paragraf pembuka di salah satu laman blog.hijup.com. Ini adalah situs jual beli busana Muslimah yang diklaim pertama di Indonesia bahkan di dunia.
Tim penulis buku ini telah membuat survei kualitatif mengenai tren hijab di Indonesia. “Hasil survei kualitatif yang kami temukan mengonfirmasi baha pada umumnya responden mengenakan hijab karena perubahan model busana Muslim ke arah modern atau stylish” (hlm: 9). Berhijab adalah modern. Yuswohadi menyebutnya sebagai revolusi hijab. “Berhijab tak hanya menjadi sebuah kewajiban agama, tapi sudah menjadi lifestyle yang keren dan cool”, kata Yuswohady di yuswohady.com.
Situs Hijup.com adalah salah satu anak revolui hijab itu. Tampil modern dan cool, tidak sekadar menawarkan lapak jual beli busana Musli, juga informasi menarik tentang apa saja, seperti tentang resep membuat minuman berbuka puasa seperti dikutip di atas.
Diajeng Lestari, pendiri Hijup.com mengisahkan awal mulanya mendirikan situs jual beli tersebut pada 2011. Sebelum 2011, sebagai pekerja sektor formal yang berhijab, ia sering bertemodernmu klien. Oleh atasannya Diajeng pernah ditanya, apakah cukup fleksibel jika bertemu klien menggunakan hijab. “Karena atasan saya menanyakan bagaimana saya bertemu klien kalau saya berhijab? Dari sanalah, timbul keinginan saya memadu padan busana saya untuk kerja”, kata Diajeng.
Dari cari-cari busana Muslim yang pas di dunia maya, muncul ide untuk membuat situs jual belinya. Dibantu temannya yang programmer, Diajeng mulai membangun situs yang dalam istilah Sharing Economy, Peer to peer marketplace, karena sebenarnya, Hijup.com hanya sebagai perantara antara desainer dan calon pembeli di seluruh dunia.
“Hijup adalah kependekan dari Hij Up (seperti pada kata make up atau dress up), karena kami yakin bahwa kami bisa memberikan sesuatu yang lebih kepada wanita Muslim di seluruh dunia. Bahwa hijab tidak membatasi mereka untuk berkarya dan diakui oleh lingkungan sekitarnya. Mereka layak untuk tampil menawan dengan pakaian yang cantik dan mengikuti tren namun tetap syar’i”, tulis situs ini di laman profilnya.
Diajeng mengamini perubahan lanskap pemasaran Indonesia sebagaimana dikatakan Yuswohadi. Dalam bedah buku yang sama, Diajeng yang menjadi salah satu panelis mengakui telah bersiap menghadapi munculnya pemain-pemain baru, seperti grup Zalora yang baru-baru ini meluncurkan situs jual beli busana Muslimnya. “Ada Berry Benka dan Zalora yang mulai masuk ke pasar busana Muslim ini”, kata Diajeng.
Semakin Kaya Semakin Spiritual
Buku ini mengutip data kenaikan nilai zakat di Indonesia dari Badan Amil Zakat Nasional yang rata-rata mencapai 24% per tahun. Dari potensi sekitar Rp270 triliun, pada 2013, zakat terkumpul dari berbagai lembaga baru mencapai Rp2,5 triliun.
Thoriq Helmy, Direktur di Dompet Dhuafa membuka dapur lembaga zakat populer ini. “Betul bahwa donatur kami mencapai 22 ribu yang berstatus tetap individu. Rata-rata tiap bulan zakat dibayarkan mereka antara Rp250—400 ribu per orang. Salah satu cirinya yang terus kita pelajari adalah, 80%-nya berdonasi lewat e channel, seperti debit otomatis bank, Doku, Paypal, ATM. Khusus untuk SMS banking dan internet banking sendiri naik 7-9%”, kata Thoriq.
Selain kian melek teknologi, para muzakki ini juga kian kritis, mereka kerap bertanya, penggunaan dananya untuk apa saja. Ada juga yang tidak setuju misalnya jika Dompet Dhuafa menggunakan artis tertentu sebagai brand ambassador atau ada program yang menurut mereka kurang tepat. Untuk itu, pihak Dompet Dhuafa menjelaskan, bahwa ada pos-pos dana selain zakat untuk hal semacam promosi. Justeru, kritisnya para muzakki yang kelas menengah Muslim ini adalah tantangan sendiri untuk Dompet Dhuafa. Thoriq mengakui, pihaknya jadi harus lebih kreatif dalam menyalurkan zakat. Karena kalau ada dana yang tidak tersalurkan dan itu jumlahnya lebih banyak dari periode laporan sebelumnya, banyak muzakki yang akan protes.
Mc Kinsey menghitung Indonesia kini memiliki 45 Juta kelas menengah konsumer yang diprediksi akan menaik menjadi 135 juta pada 2020. Boston Consulting Group memprediksi kelas menengah Indonesia kini berjumlah 74 juta dan akan menaik menjadi 141 juta pada 2020. Kedua lembaga tersebut menyebut kelas menengah ini sebagai kelas konsumer. Sementara, sebagaimana diketahui, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Nah, bagaimana dengan kelas menengah Muslim?
Bagaimana memasarkan produk Anda kepada kelas menengah Muslim? Nantikan artikel berikutnya tentang buku Marketing to the Middle Class Moslem di sini. Daftar newsletter kami untuk mendapatkan info ketika artikel berikutnya tayang.