Di masa pemerintahan Bani Abbasiyah II yang berlangsung kurang lebih selama 2,5 abad (1261-1501 M) muncul lebih dari 200 fukaha, sufi, dan ahli filsafat. Salah satu diantaranya adalah Asy Syatibi.

Mengenai konsep maqashid syariah, Syatibi mengatakan bahwa tujuannya adalah mencapai kemaslahahan umat. Hal ini menyangkut pemenuhan kebutuhan manusia yang dapat terwujud jika memenuhi lima unsur pokok kehidupan. Unsur-unsur pokok kehidupan yang dipaparkan oleh Syatibi sama dengan Al Ghazali. Baca: Manajemen Kinerja Berbasis Maqasid Syariah
Dalam Buku Jejak Rekam Ekonomi Islami (Karnaen Perwataatmadja dan Anis Byarwati, 2008) disebutkan bahwa kemaslahahan manusia dapat terwujud bila lima unsur pokok kehidupan terpelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini Syatibi membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, tahsiniyah.
Dharuriyat merupakan landasan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Jika dharuriyat tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak akan seimbang. Sementara hajiyat dimaksudkan untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan lima unsur pokok manusia, dan tahsiniyah menjadi penghias dari kehidupan manusia. Baca Juga: Kontribusi Pemikiran Ekonomi Syariah Pada Dunia
Terkait pemungutan pajak, Syatibi juga memiliki pandangan sama dengan Ghazali, dimana pemeliharaan kepentingan umum adalah tanggung jawab bersama masyarakat. Setiap pemungutan pajak pun harus dilihat dari maslahahnya. Ia berpendapat dalam kondisi tidak mampu melaksanakannya, masyarakat bisa menyumbangkan sebagian kekayaannya melalui baitul mal. Menurut Syatibi, pemerintah juga dapat memungut pajak-pajak baru terhadap rakyatnya meski pajak-pajak tersebut belum dikenal sebelumnya dalam sejarah Islam.
Pemikiran Syatibi lainnya adalah menyangkut konsep kepemilikan. Ia mengakui hak individu, tetapi menolak hak individu pada sumber daya yang menyangkut kepentingan umum, seperti air. Ia pun menekankan setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan individu harus sesuai maslahah, karena itu agama pun menjadi salah satu kebutuhan manusia. Ini berbeda dengan konsep hierarchy of needs Abraham Maslow yang tidak memuat agama sebagai kebutuhan.

