Program pengentasan kemiskinan tak bisa hanya berupa bantuan, tapi harus berkelanjutan dengan titik terminasi agar penerima manfaat mandiri.
Konsultan Rumah Zakat (RZ) Bagus Aryo mengatakan, potensi zakat Indonesia mencapai Rp 217 triliun per tahun. Namun sayangnya, kesadaran untuk membayar zakat juga belum besar. Sangat berbeda dengan Malaysia, dimana negara melembagakan zakat, memastikan keamanan dana zakat, dan memberi insentif bagi muzakki.
Aryo menilai bahwa program bantuan tunai cocok untuk mereka yang benar-benar terpenuhi kebutuhan dasarnya. Menurutnya, untuk mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya lebih baik diberi progam pemberdayaan berupa pembinaan sebelum diberi modal usaha.
Pasalnya, jelas Aryo, rasio gini Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negar-negara berkembang. Apalagi pembangunan tidak terdistribusi, yakni pembangunan hanya dinikmati sedikit orang.
“Program pengetasan kemiskinan tidak bisa hanya berupa bantuan. Program harus berkelanjutan dengan titik terminasi (berhenti) agar penerima manfaat tidak kecanduan, tapi benar-benar mandiri,” ungkap Aryo dalam diskusi seputar Sustanable Development Goals (SDGs) yang digelar Rumah Zakat (RZ) di Jakarta, pekan lalu.
Aryo menjelaskan, jika bicara riil, apa yang terjadi saat ini berkaitan dengan struktur ekonomi. Maka, peran lembaga filantropi bukan pada level makro, tapi ke akar rumput.
Namun demikian, kata Aryo, ada yang bilang program lembaga filantropi itu program tensoplas (bandage program), belum bisa mengatasi akar masalah yang timbul. ”Tapi menurut saya, lembaga filantropi itu bisa melakukan sesuatu. Baru perlahan masuk ke level advokasi. Karena kalau masuk advokasi lalu bicara sistem money making, riba, dan lainnya, ada pertentangan. Di sana perlu agak garang!,” tegas Aryo.
Aryo mengakui memang ada ketimpangan karena ada pembagian ekonomi yang tidak wajar yang hanya dikuasi sebagian kecil orang. Namun instannya, jelas Aryo, tinggal bagi saja kekeyaan supaya rata. Tapi faktanya seperti itu, yakni ketimpangan. Sehingga harus ada political will pemerintah untuk perlahan mengubah struktur dan mengatasi yang tidak adil, tepat sasaran.
Jalin Kemitraan dengan Swasta
Aryo pun menjelaskan, bahwa lembaga filantropi seperti Rumah Zakat mempunyai program pengembangan komunitas terintegriasi. Masyarakat yang dibina lembaga filantropi punya potensi dan aset untuk berkembang. Ini dikombinasikan dengan layanan dari lembaga filantropi dalam upaya menyejahterakan masyarakat.
Karena kemiskinan adalah persoalan multidimensi, maka program yang diberikan kepada komunitas sasaran juga terintegrasi dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. ”Ada yang mendapat program kombinasi dari empat program tersebut, ada ada pula yang mendapat semua, tergantung kebutuhan masyarakat,” ujar Aryo.
Hal seperti itu, kata Aryo seharusnya didukung dengan kebijakan pemerintah. Dan, belakangan terdengar kasus dugaan pencucian uang yayasan. ”Jangan sampai seperti itu, sehingga pemerintah dan lembaga bisa selesaikan masalah bersama. Ada lembaga masyarakat yang agak keras, itu ciri mereka. Intinya harus diberi kebebasan bertanggungjawab,” papar dosen Senior School of Social and Political Sciences University of Melbourne.
Menurut Aryo, lembaga filantropi juga bisa menjalin kemitraan dengan swasta melalui program tanggung jawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility/CSR). Tapi jangan CSR yang hit and run, tapi yang mengembangkan potensi masyarakat sasaran utamanya dalam upaya pembangunan SGDs.

