Upaya pemerintah menjaga keberlangsungan kinerja lembaga keuangan dan keberlanjutan pembangunan nasional diwujudkan dalam pembentukan kerangka peraturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terpadu dan komprehensif. Hal ini diwujudkan dengan merancang Otoritas Jasa Keuangan menjadi suatu lembaga yang proporsional, berintegritas dan independen yang didukung dengan undang-undang.
Tapi dalam pelaksanaannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Azzahra Dr. Baiq Setiani menyatakan adanya tumpang tindih kewenangan jika ditinjau dari UU OJK yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2013, UU Perbankan No.10 Tahun 1998 dan UU Bank Sentral Tahun 1999.
“Jika kita melihat UU Perbankan dan UU OJK pada pasal 34, terlihat bahwa tugas OJK adalah pengawasan bank. Namun dalam perkembangannya malah tugas pengaturan perbankan juga diambil alih,” kata Baiq saat menjadi pembicara pada diskusi publik “Membongkar Dugaan Kejahatan dalam Tunggakan Perkara di OJK Pasar Modal” yang diselenggarakan oleh Forum Aktivis Anti Korupsi di D Hotel Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Selanjutnya, Baiq juga menyebutkan terkait pembinaan perbankan yang dulunya merupakan tugas dari Bank Indonesia (BI), tapi menjadi hilang sejak diberlakukannya UU No,23 Tahun 1999.
“Penghilangan pasal pembinaan dipandang sebagai adanya konflik kepentingan dan berlindungnya para banker nakal ketika muncul permasalahan keuangan bank. Dan masalah muncul, saat UU OJK berlaku, siapa yang bertugas untuk membina perbankan nasional? Karena OJK lebih fokus kepada nasabah dari lembaga keuangan, bukan lembaganya,” urai Baiq.
Baiq menyebutkan bahwa seharusnya ketika UU No,23 Tahun 1999 diberlakukan, maka pemerintah semestinya merubah UU No. 10 tahun 1998. Karena beberapa pasalnya sudah tidak sesuai dengan UU No, 23 Tahun 1999.
Kewenangan OJK di dunia pasar modal, terlihat dalam Pasal 6 UU No.21 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
“Hadirnya OJK menggantikan Bappepam sebagai lembaga yang salah satu tugasnya adalah menanggulangi terjadinya manipulasi di pasar modal. Dalam hal ini, OJK memiliki kewenangan dua sisi, yaitu sisi penegakan hukum dan juga sisi menjaga perbankan nasional,” kata Baiq.
Tumpang tindih kewenangan ini menurut Baiq sebenarnya tidak perlu terjadi jika sebelum merumuskan RUU, ada koordinasi antar lembaga.
“Kita dari pihak akademisi sudah beberapa kali mengajukan. Tapi sepertinya belum mendapat respon positif. Kita mengharapkan adanya evaluasi dalam semua pasal yang berkaitan dengan bidang perbankan, sehingga tidak menimbulkan benturan kepentingan dalam penerapannya,” ujarnya.
Baiq menyatakan jika ingin menciptakan lingkungan keuangan dan perbankan yang bersih, maka perlu diciptakan suatu produk hukum yang jelas, transparan dan tidak menimbulkan multi tafsir.
Sementara itu, Ketua/Pendiri Nation and Character Building Institue (NCBI) – Juliaman Saragih dalam diskusi publik ini mengungkapkan, Menteri Keuangan – Sri Mulyani sudah saatnya bersikap tegas dan transparan atas dugaan kejahatan keuangan dan puluhan tunggakan perkara di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasar Modal.
“Masih ada waktu bagi Kementerian Keuangan untuk melakukan aksi bersih-bersih di OJK Pasar Modal. Kami pun menunggu pedang hokum keadilan KPK,” ujar Juliaman.
Karena itu, tandas Juliaman, pihaknya mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pengawasan intensif atas dugaan kejahatan keuangan tersebut di OJK Pasar Modal.
“Kami percaya KPK akan menjunjung tinggi supremasi hukum yang berkeadilan dan penegakan hukum yang non-diskriminatif disertai peradilan yang independen (bebas intervensi), terbuka dan akuntabel,” demikian Juliaman Saragih.