Perlunya Rating BMT Untuk Perluas Program Linkage

Dalam menjalin program linkage dengan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) biasanya perbankan syariah memiliki persyaratan tertentu dalam memilih rekan mitra. Agar penyaluran linkage bisa merata muncullah usulan membuat pemeringkatan LKMS atau baitul maal wat tamwil (BMT).

bmtDirektur Center of Islamic Business and Economic Studies Institut Pertanian Bogor, Irfan Syauqi Beik, mengatakan dalam menjalin linkage biasanya perbankan syariah memiliki persepsi untuk melakukannya dengan BMT berskala besar dengan modal yang kuat. “BMT kecil kadang tidak terlalu dilirik padahal punya kompetensi dan kapasitas. Di sisi lain, kalau BMT bergabung dalam suatu perhimpunan, bank akan datang sih, tapi masa pendekatannya begitu terus?,” tanya Irfan.

Agar perbankan syariah dapat memperluas jangkauannya, lanjut Irfan, maka harus ada alat bantu yang dapat membantu perbankan syariah untuk menganalisa performa LKMS atau BMT, misalnya dalam bentuk rating (pemeringkatan). Rating ini berupa alat ukur indeks untuk membantu melakukan evaluasi dan assessment terhadap kinerja LKMS. “Bankir harus dibantu dengan rating, jadi tinggal cek LKMS atau BMT-nya. Setelah dicek ratingnya sekian, berarti treatment bagaimana? Rating akan mengklasifikasi lembaga ini ada dimana berikut treatment yang akan dilakukan seperti apa,” jelas Irfan.

Ia mengakui usulan pemeringkatan LKMS dan BMT ini masih memerlukan penelitian mendalam karena harus menghitung dan menganalisis berbagai variabel dan pembobotan. Variabel rating pun bisa bermacam-macam, mulai dari tingkat kesehatan hingga berdasar sektor pembiayaan dan potensi LKMS dan BMT ke depannya. Baca: BMT Harus Concern Menjaga Good Governance

“Kalau untuk tingkat kesehatannya itu kan berdasar data yang lalu dan saat ini, tapi untuk di masa mendatangnya bagaimana? Siapa tahu saat ini BMT-nya agak demam, namun sudah berada dalam jalur tepat ke depannya dan punya peluang besar untuk dikembangkan, itu tentu ada pembobotannya,” papar Irfan.

Ia pun mengkritik jika sektor tertentu dinilai menimbulkan masalah terus menerus bagi pengembangan lembaga keuangan, contohnya sektor pertanian. Persepsi umum yang muncul mengenai pertanian adalah sektor yang berisiko tinggi dan tidak stabil karena tergantung pada iklim. Padahal, tambah Irfan, mayoritas masyarakat miskin usaha mikro ada di sektor pertanian. “Jangan sebentar-sebentar usaha mikro yang banyak di pertanian itu dianggap bermasalah terus, ya jangan begitu. Harus dilihat dulu, pertanian kan macam-macam,” ujarnya. Baca: Pembiayaan Pertanian Syariah: “Gagal Panen, Siapa yang Menanggung Rugi?”

Di sisi lain, Irfan mengharapkan rating LKMS dan BMT ini dapat didukung oleh regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan atau regulator terkait agar dapat berjalan efektif. Kementerian Koperasi dan UKM pun telah melakukan pemeringkatan koperasi. Namun, untuk lembaga keuangan mikro yang berada di bawah naungan OJK belum ada pemeringkatan. “Inisiatif rating tentu akan efektif kalau dari regulator. Mengenai cara pendekatannya bisa bermacam-macam, dengan regulator mengundang kampus untuk menyusun pemeringkatan atau regulator punya divisi yang bertugas membuat rating,” kata Irfan.