Nurizal Ismail[1]
Rasulullah SAW adalah qudwah hasanah bagi seluruh umat Muslim di dunia. Salah satu akhlak atau perilakunya yang menjadi perbincangan sahabat adalah kedermawanannya. Sahabatnya Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengisahkan: “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling dermawan masalah kebaikan (harta benda), dan kedermawanan beliau mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan di saat berjumpa dengan Malaikat Jibril. Dan dahulu Malaikat Jibril ‘alaihissalam biasanya senantiasa menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap malam di Bulan Ramadhan hingga akhir bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an di hadapannya. Bila telah berjumpa dengan Malaikat Jibril ‘alaihissalam beliau terasa begitu dermawan dalam masalah kebaikan (harta benda) dibanding angin sepoi-sepoi yang berhembus.” Muttafaqun‘alaih).
Hadits di atas mengajarkan bahwa pentingnya kedermawanan dalam perilaku tiap-tiap individu Muslim. Ramadhan adalah sarana untuk melatih perilaku kedermawanan manusia karena di bulan ini segala bentuk ibadah dilipatgandakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Salah satu ulama Syafi’i yaitu Imam Mawardi (Lahir: 364 H/974 M) membahas dengan jelas tentang kedermawan dalam bukunya ‘Adab al-Dunya wal Din’ dalam bab al-birr (kebajikan). Beliau membagi al-birr menjadi dua yaitu: 1) Al-Şilah (Pemberian); 2) Al-Ma’ruf (Kebaikan).
Hal ini juga berkaitan dengan tujuan dari puasa yang diwajibkan kepada tiap-tiap individu Muslim yaitu ketaqwaan. Berdasarkan surat al-Maidah, 2:”… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” Penjelasannya karena di dalam ketaqwaan ada ridha Allah Ta’ala dan di dalam kebajikan ada ridha manusia. Maka menurutnya barang siapa yang menggabungkan ridha Allah dan manusia maka kebahagiaanya akan lengkap dan kenikmatannya akan sempurna.
Imam Mawardi mendefinisikan Al-Şilah sebagai suatu kebajikan (tabarru’) dengan pemberian harta dengan cara yang terpuji tanpa adanya kompensasi yang diminta, yang mendorongnya dengan kelapangan jiwa dan kedermawanan, dan mencegahnya dari kekikiran dan kesombongan. Beliau memberikan batasan kedermawanan yaitu pemberian sesuatu yang dibutuhkan yang disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya sesuai dengan kemampuan.
Selanjutnya, yang menafikkan batasan kedermawan ini mungkin bisa dikategorikan k edalam perilaku yang bukhl (kikir), tabzir (boros) dan saraf (berlebih-lebihan). Barang siapa yang tetap dalam batasan kedermawanan tersebut masuk dalam akhlak yang mulia dan barang siapa yang mengurangi batasannya disebut bakhil (pelit) dan termasuk perbuatan tercela. Selain itu, barang siapa yang terlalu berlebih dari batasan tersebut termasuk orang yang boros (mubazir) dan berlebih-lebihan (musrif) dan juga termasuk dalam tabiat yang tercela.
Dalam konteks ekonomi, Adam Smith (1759) yang dikenal di Barat sebagai bapak ekonomi membahas juga dalam bukunya ‘The Theory of Moral Sentiment’, berkata: “we are never generous except when in some respect we prefer some other person to ourselves”, yang berarti kita tidak pernah menjadi dermawan kecuali ketika dalam beberapa hal kita lebih memilih orang lain untuk diri kita sendiri.
Teori ini menurut beberapa pakar ekonomi bertentang dengan teori yang dikembangkan selanjutnya yaitu self-interest. Menurut penulis teorinya ini sangat berbeda dengan yang dikembangkan Imam Mawardi bahwa untuk menjadi seorang yang dermawan tidak perlu harus berkorban untuk orang lain terhadap dirinya, berikanlah sesuatu sesuai dengan kemampuan dan mengharap ridha Allah Ta’ala.
Dalam ekonomi Islam, perilaku kedermawanan harus menjadi aspek utama dalam aktivitas ekonominya. Jika ini hilang, maka yang muncul adalah sifat-sifat kapitalisme seperti pelit, kikir, boros dan berlebih-lebihan. Instrumen-instrumen kedermawanan dalam Islam pun telah Allah Ta’ala jelaskan dalam Qur’an seperti zakat, infaq, sedekah, hibah, dan wakaf.
[bctt tweet=”Kedermawanan harus menjadi aspek utama dalam aktivitas ekonomi” username=”my_sharing”]
Semoga dalam bulan Ramadhan ini, perilaku kedermawan yang muncul dalam diri kita tidak hanya menjadi trend tahunan dan hilang begitu saja setelah Ramadhan meninggalkan kita. Seharusnya perilaku ini terus dipraktikkan dalam kehidupan kita.
Terakhir, untuk menjadi dermawan kita tidak harus menjadi kaya, berikanlah sesuai dengan kemampuan harta yang kita miliki. Wallahu’alam bil sawab!
[1] Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami (Turast), Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia

