Salah satu polemik keagamaan tiap jelang Natal, bolehkah Muslim memakai atribut Natal?

Yang Ributkan Fatwa, Bukan Ahlinya

[sc name="adsensepostbottom"]

Fatwa ini untuk menentramkan masyarakat, tahu hukumnya, paham akan halal dan haram.

Dalam diskusi publik bertajuk “Masih Perlukan Fatwa MUI?” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis pekan lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Huzaemah T. Yanggo menyayangkan pihak-pihak yang mempersoalkan fatwa MUI. Misalnya dalam masalah fatwa atribut Natal yang diterbitkan pada Desember 2016 lalu.

Fatwa tersebut menimbulkan gejolak di masyarakat, termasuk protes dari penguasa. Menurut Huzaemah,  gejolak yang terjadi di masyarakat soal fatwa tersebut karena ditanggapi oleh orang yang bukan ahlinya.

Padahal, jelas Huzaemah, tujuan fatwa tersebut sangat jelas yakni haram hukumnya umat Muslim menggenakan atribut natal. Jadi fatwa ini larangan untuk umat Muslim, dan juga himbauan kepada pengusaha agar tidak memaksa karyawan Muslim menggenakan atribut natal.

“Kalau fatwa MUI dibilang bikin ribut, dari dulu nggak pernah ribut. Tapi karena ada campur tangan, Bukan ajaran dia, dia nanggapi. Bukan bidang dia, nanggapi. Orang liberal juga, bukan ahlinya,” kata Huzaemah.

Huzaemah menekankan bahwa fatwa yang diterbitkan oleh MUI adalah berdasarkan keluhan dari masyarakat. “Semua itu kan keluhan dari masyarakat, MUI kan menerima keluhan. Tidak ada paksaan, tapi tugas MUI melakukan bimbingan kepada umat,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa fatwa MUI hanya untuk orang Islam agar tahu hukum agama sesuai syariat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia yang tak kekal ini, karena keabadian hidup itu di akhir hidup yakni ketika kita menghadapi Allah SWT.

“Fatwa ini untuk menentramkan umat Islam, tahu hukumnya, paham akan halal dan haram, yang tidak boleh dan boleh sesuai syariat Islam,” ungkapnya.

Lebih lanjut Huzaemah menyampaikan, seiring perkembangan zaman dalam kehidupan masyarakat, fatwa MUI menjadi penting sebagai landasan hukum keimanan seseorang. Fatwa MUI ini juga diterbitkan sesuai tuntutan masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha.

Seperti fatwa ekonomi syariah yang bersifat muamalah yang berlandaskan pada hukum syariah. ” Fatwa ekonomi syariah ini berdasarkan permintaan pelaku usaha kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Dalam perkembangannya fatwa ini dilaksanakan oleh semua masyarakat tidak terbatas pada umat Muslim.

“Fatwa ekonomi syariah ini menjadi kodifikasi lembaga keuangan syariah baik itu bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, hotel syariah, wisata syariah, dan lainnya,” ujar Huzaemah.

[bctt tweet=”Fatwa diterbitkan untuk menentramkan umat Islam” username=”my_sharing”]

Selain itu, lanjut dia, telah diterbitkan pula fatwa tentang sampah dan lingkungan hidup yang mencakup didalamnya terkait kebakaran hutan. Fatwa ini atas permintaan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Adapu n fatwa MUI tentang aliran sesat seperti kasus Gafathar dan pengandaan uang oleh kanjeng Dimas yang meresahkan masyarakat. Fatwa-fatwa tersebut atas permintaan masyarakat yang tentu dalam penerbitan fatwa, MUI selalu bersandar pada Al-Quran dan Hadist.