Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak

[sc name="adsensepostbottom"]

Diharapkan tidak ada lagi alasan orang kaya  tidak bayar zakat.

Diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2017 yang berlaku sejak tanggal 22 Juni 2017 yang berkaitan tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak disambut baik sejumlah pihak.

Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementrian Agama (Kemenag) RI Tarmizi Tohor mengatakan, terbitnya peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari UU No.23 tahun 2011 tentang zakat.

Tarmizi menyampaikan, target pendapatan zakat hingga tahun 2016 masih diangka 2 persen atau Rp 5,6 triliun. Sangat jauh dengan perolehan pajak yang mencapai 81,54 persen di tahun yang sama. Tarmizi berharap dengan dikeluarkannya aturan ini, 98 persen sisa potensi zakat yang masih gentayangan diharapkan dapat terserap. Menurut dia,  data tersebut menunjukan umat Islam Indonesia lebih takut negara daripada hukum Allah.

“Semoga tidak ada lagi alasan bagi para muzaki yang enggan membayar zakat karena memiliki pandangan zakat kena pajak.Orang kaya tidak ada alasan lagi untuk tidak bayar zakat. Bila perlu tambahkan hukum pidana bila WNI muslim tidak mau berzakat,” Ujar Tarmizi dalam acara Seminar Nasional bertajuk “Zakat Sebagai Pengurangan Penghasilan Kena Pajak”, di Hotel Sofyan Tebet, Jakarta, Selasa (22/8).

Saat ini, lanjutnya, tercatat ada 550 lebih LAZ yang telah dibentuk oleh UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Namun banyaknya LAZ dirasa Tarmizi belum sanggup mempersempit gap pendapatan zakat jika dibandingkan dengan perolehan pajak.Padahal lanjut Tarmizi jika dana zakat bisa terserap lebih besar bukan tidak mungkin angka kemikinan di Indonesia dapat menurun.

“Kalau kita berhasil tingkatkan 5 persen saja, kita bisa arahkan secara terpadu untuk entaskan kemiskinan yang jumlahnya 28 juta orang. Dari 550 LAZ yang ada saya melihat baru ada 1 LAZ yang sudah memliki rumah sakit dan minimarket. Saya ingin model pengentasan kemiskinan seperti ini karena memberikan pemberdayaan yang berkesinambungan,” ungkap Tarmizi.

Tarmizi menyarankan, agar  LAZ bersama BAZNAS wajib merancang teknis yang sedemikian rupa sehingga muzaki yang telah membayar zakat dapat menunjukan bukti pembayarannya kepada dirjen pajak dengan bukti yang sahih dan dapat diterima negara.

“Kita dapat bukti telah membayar zakat dari LAZ berupa SMS atau lembaran kwitansi. Apakah itu bisa menjadi bukti yang kuat dan dipercaya oleh dirjen pajak dan diterima oleh negara?,” ujar Tarmizi.

Ada pun LAZ sebagai penerima zakat yang dapat mengurangi dari penghasilan bruto adalah Badan Amil Zakat Nasional berdasakan UU No. 23 tahun 2011 dan berdasarkan keputusan Menteri Agama no 186 serta berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj III/499 tahun 2016. Muzaki yang berzakat di luar LAZ dengan ketentuan tersebut, zakatnya tidak bisa menjadi pengurang dari penghasilan bruto.

Pada kesempatan ini, Deputi Pemotongan Perorangan PPh Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan RI Sulistyo Wibowo mengatakan, zakat yang dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak ialah zakat penghasilan dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. Zakat penghasilan tersebut akan diakumulasi setiap tahun untuk mengurangi biaya pajak penghasilan bruto.

“Jadi dibayar oleh seorang wajib pajak yang beragama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh orang islam ke LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,” ujar Sulistyo.

Menyoal bukti pembayaran tambah Sulistyo, muzaki bisa melampirkan bukti berupa kwitansi atau transfer rekeing zakat pada SPT tahunan dengan menyertakan nama lengkap, jumlah dan tanggal pembayaran, nama LAZ, tanda tangan petugas LAZ dan validasi petugas bank bila pembayaran zakat via transfer bank. “Nantinya semua LAZ yang sudah terdaftar akan mendapatkan bukti setor zakat yang seragam,” ujarnya.