Bank syariah menyalurkan pembiayaan dalam Rupiah, sementara banyak dana nasabah dalam Dolar AS. Nah, bagaimana melindungi bank syariah dari risiko spread valas?

Sejak pemerintah berkomitmen menempatkan dana haji di bank syariah, industri perbankan syariah otomatis memperoleh limpahan dana besar dari calon jamaah haji. Baca juga: BNI Syariah Berikan Edukasi Tentang Hasanah Card
Ada yang menyimpan dana haji dalam bentuk rupiah, ada pula yang berbentuk dollar. Nah, bagaimana jika simpanan dalam bentuk dolar lalu disalurkan dalam bentuk rupiah? Tentunya bank memerlukan lindung nilai sebagai langkah mitigasi risiko nilai tukar. Baca juga: Hedging Syariah, Rekomendasi Ijtima Sanawi IX
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengeluarkan fatwa No 28 mengenai jual beli mata uang pada 2002 yang memuat ketentuan transaksi yang diperbolehkan dan yang tidak. Dalam fatwa tersebut transaksi valuta asing yang diperbolehkan adalah transaksi spot. Transaksi forward (transaksi jual beli yang nilainya ditetapkan sekarang dan diberlakukan untuk masa mendatang antara dua hari dan satu tahun) tidak diperbolehkan, kecuali dalam bentuk forward agreemeent. Transaksi lainnya seperti transaksi swap dan option pun diharamkan.
Anggota DSN MUI, M Gunawan Yasni, mengatakan dalam kondisi saat ini sejak Menteri Agama mengharuskan dana haji dikelola oleh bank syariah, forward agreement menjadi lil hajjah (hal yang tidak bisa dihindarkan) bagi bank syariah. Ketika bank syariah menjadi bank devisa, maka bank syariah akan terekspos oleh nilai tukar kurs rupiah dan dolar. “Kalau dalam kondisi sekarang bank syariah yang jadi bank devisa harus melaporkan laporan keuangan dalam dua versi yaitu versi rupiah dan versi dolar harus mengakui kemungkinan untung atau rugi dari selisih nilai tukar. Di sini forward agreement bisa dilakukan untuk pertimbangan alat lindung nilai bagi bank syariah yang menjadi bank devisa,” kata Gunawan dalam Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas Syariah X Tahun 2014, Rabu (17/12).[su_pullquote align=”right”]Ketika bank syariah menerima dana dalam bentuk dolar, jarang bank syariah menyalurkan pembiayaan dalam bentuk dolar pula–Gunawan Yasni.[/su_pullquote]
Ia menambahkan ketika bank syariah menerima dana dalam bentuk dolar, jarang bank syariah menyalurkan pembiayaan dalam bentuk dolar pula. Biasanya dana dalam bentuk dolar disalurkan ke pembiayaan dengan mata uang rupiah. Di sini bank harus membuat forward agreement dengan nasabah pendanaan yang menempatkan dalam bentuk dolar. “Suatu saat nasabah akan ambil dananya dan harus ada pemenuhan mata uang asing tersebut, padahal kebanyakan pembiayaan tidak dalam mata uang asing tapi rupiah. Di sana terjadi currency exchange gap, maka harus ada forward agreement untuk lindung nilai pendanaan dan pembiayaan tadi,” ujar Gunawan.
Forward agreement bukanlah alat investasi, tapi merupakan perjanjian untuk melakukan transaksi dengan harga tertentu di masa mendatang. Misalnya nilai tukar dolar saat ini Rp 12 ribu, dalam forward agreement ditentukan menjadi Rp 13 ribu. “Nentuinnya gimana? Yang dilihat para pihak yang bertransaksi adalah inflasi di negara darimana asal mata uang tersebut, inflasi biasanya tersirat di dalam yang namanya central bank reserve rate. Misalnya kalau The Fed (bank sentral Amerika) menaikkan reserve rate 0,25 persen, maka bisa berdampak pada BI rate 1 persen. Dari sana kemudian bisa diprediksi nilai rupiah misalnya Rp 13 ribu, ini bisa ditentukan berapa nanti dolar akan dijual,” jelas Gunawan.
Pada saat jatuh tempo sesuai dengan ijab kabul, maka dana harus diserahkan sesuai dengan perjanjian awal. Forward agreement hanya bisa dilakukan jika adanya kebutuhan valuta asing yang tidak dapat dihindarkan karena harus membayar kewajiban dari kebutuhan yang timbul dari akad lainnya, contohnya deposito syariah valas yang harus cair dalam jangka waktu tertentu.

